Garis Nasib

04/10/2023

“Den baru saja pulang dari Jakarta. Pasti bawa banyak oleh-oleh dan yang paling pasti ... uang. Sudah lama dia merantau, ya? Empat atau lima tahun, kan, setelah kalian sama-sama lulus SMA? Dia anak yang rajin dan cekatan. Beruntung sekali jadi ibunya Den."

Kata-kata itu terdengar seperti sindiran. Ibu jadi sering mengucapkannya ketika Den baru saja pulang dari rantau. Hampir setiap hari topik pembicaraan adalah Den. Aku menyimaknya dengan hikmat, tapi kadang ada sedikit dongkol yang membuatku ingin segera mengalihkan topik pembicaraan, misalnya dengan beranjak menjauh atau membenarkan letak bunga plastik yang miring di meja. Namun, Ibu dengan lekas menyergah.

"Den anak yang sopan. Pasti dia tidak akan mengacuhkan orang yang lebih tua ketika sedang berbicara!"

Aku tahu Ibu menyindir dengan nada bicara penuh tekanan, tapi aku lebih suka menyeruput kopi dan berpura-pura tak mendengar apa yang baru saja dikatakan Ibu. Aku tak peduli dan memilih beranjak menuju beranda rumah di mana burung-burung kesayanganku berkicau merdu. Lalu, aku menyibukkan diri dengan menambahkan pakan dan mengganti air minumnya. Setelah itu, aku mengambil sabit untuk memangkas rumput liar di halaman yang tidak terlalu tinggi dan menata ulang pot bunga yang sudah rapi. Menjelang sore, aku memastikan ayam dan bebek masuk ke kandang masing-masing. Itulah kegiatan keseharianku jika tidak ada panggilan kerja.

Aku tidak bisa mengatakan kalau Ibu itu orang yang cerewet. Ia lebih banyak diam, tapi kalau menyangkut Den dan anak-anak yang dulu pernah menjadi teman sepermainanku, ia begitu antusias. Ibu sudah seperti pengawal yang mengawasi ke mana kelak anak-anak yang dulu ingusan itu menambatkan nasib. Dan kini, satu per satu mulai tampak jawabannya.

"Ibu nggak nyangka. Den yang dulu bandel itu sekarang bisa jadi orang yang mapan di kampung. Ibu ingat dulu bapaknya suka memukulinya pakai rotan kalau tidak mau ngaji. Ibu juga dulu sempat memergokinya merokok di warung kopi dan langsung dihajar oleh bapaknya. Pokoknya Den yang paling bandel dan nakal di antara kalian, tapi sekarang dia sukses. Pasti senang jadi ibunya Den. Nggak sia-sia mendidik anak dengan keras."

Kata-kata bangga itu sering diulang-ulang. Kadang, telingaku mendadak panas dan ingin menyergah untuk menghentikannya membicarakan itu. Namun, aku tak cukup berani.

Ibu melenggang pergi. Katanya, ia ingin ke rumah Den untuk menyalaminya dan menanyakan kabar. Aku sempat diajak, tapi menolak. Bukan karena aku tak mau, tapi ada alasan lain yang mungkin akan memekakan telingaku lebih lantang. Seperti kalimat yang baru saja diucapkannya. 'Pasti bangga menjadi ibunya Den'. Jadi, bisa disimpulkan kalau aku tidak membanggakan atau barangkali ada sedikit kekecewaan setelah bertahun-tahun berlalu ternyata aku tidak seperti Den.

Siapa, sih, yang tahu jalan nasib seseorang? Jika diingat-ingat, Den itu dulu sangat nakal. Kami duduk satu bangku dari sekolah dasar sampai lulus sekolah menengah atas. Den selalu mendapat nilai paling jelek di semua mata pelajaran, kecuali pelajaran olah raga. Den pernah membuat salah satu guru menangis karena ulahnya yang terlalu nakal sampai-sampai orang tuanya dipanggil dan ia terancam dikeluarkan. Akan tetapi, Den tak pernah merasa jera. Ia terus bertindak menentang aturan. Katanya, hidup hanya sekali. Jangan sia-siakan masa muda. Nakal dulu baru sukses.

Konyol sekali, batinku. Aku sangat berkebalikan dengan Den meskipun kami kawan karib. Aku selalu mendapat peringkat, meskipun tak melulu peringkat satu. Aku juga sangat patuh pada aturan, misalnya selalu memasukkan baju ke dalam celana, memakai topi dan dasi, tak pernah terlambat apalagi bolos, mengerjakan tugas tepat waktu, dan sering kali menjuarai olimpiade sains.

Berkat prestasi itu, aku sering mendapat pujian guru. Aku merasa puas dan tentu saja bangga karena tidak ada yang bisa menyaingi nilaiku sampai pengumuman kelulusan dengan menyandang juara umum. Ibu pun pernah berkata bahwa ia sangat bangga padaku. Ibunya Den pun begitu. Pasti senang sekali menjadi ibumu. Kamu pintar dan rajin, katanya. Sekarang semuanya terbalik.

Dulu, aku berharap bisa membantu Den untuk memperbaiki nilai dan sikapnya, terutama di bidang keagamaan. Ibunya pun meminta agar Den selalu diajak ke mana pun aku pergi agar ia mau mencontoh sedikit saja sikap baikku, misalnya dengan rajin pergi sembahyang dan mengaji di surau.

“Nilai, kan, hanya angka,” tutur Den ketika ia harus mengulang ujian Bahasa Indonesia. Bagiku, nilai bisa mengubah masa depan. Dengan nilai besar perusahaan mau memprioritaskan pelamar, kemudian menerimanya jadi pegawai. Tentu saja kenyataannya lain.

Den bersikeras mengajakku pergi merantau selepas kami lulus. Saat itu, aku melihat sisi lain Den yang berbeda. Ia punya semangat tinggi dan juga kemauan yang besar. Namun, aku tak mau meninggalkan kampung sebab Ibu sendirian. Sejak ayah pergi dan tak lagi mau menafkahi kami, Ibu sering menangis. Aku takut ia menjadi gila. Namun, ada satu alasan lain. Dengan nilai-nilaiku yang besar, aku yakin nanti perusahaan itu akan datang sendiri ke rumahku untuk melamarku menjadi pegawainya. Jadi, aku tak perlu repot-repot melamar pekerjaan yang tentu saja sangat ketat persaingannya.

Kami jarang berkomunikasi sejak saat itu. Tau-tau, ini sudah tahun ke lima sejak Den merantau. Katanya, ia bekerja di perusahaan negara yang besar. Aku terkejut dan hampir tak percaya kalau Den yang dulu nakal dan tak tahu aturan itu diterima kerja di salah satu perusahaan negara dengan gaji yang fantastis. Sementara itu, aku yang memiliki pengalaman organisasi yang cukup, nilai akademik yang mumpuni, dan juga catatan sikap yang bagus, tak kunjung mendapat tawaran kerja yang sesuai dengan usahaku mati-matian untuk menjadi anak yang baik sesuai standar orang-orang.

“Anak yang baik itu selalu rangking, patuh orang tua, taat guru dan peraturan, tidak pernah bolos, rajin belajar dan gemar membantu orang tua,” ucap Ibu.

Ungkapan yang dulu begitu menggebu dan penuh kebanggaan itu kini tak ubahnya seperti abu yang beterbangan. Bahkan dulu, Ibu mengucapkannya penuh semangat kepada para tetangga seolah-olah mengisyaratkan bahwa tidak ada anak di kampung ini yang baik selain anaknya. Kenyataan kini membalikkan semuanya.

“Anak yang baik itu yang bisa membalas jasa orang tua. Ya, seperti Den itu. Pulang-pulang jadi anak sukses, punya mobil mewah, punya rumah, bahkan rumah orang tuanya akan dibangun seperti rumah-rumah kota. Mereka juga sudah mendaftar umrah,” ungkapnya setelah pulang dari rumah Den. Ia meletakkan sekantung plastik penuh oleh-oleh dari Den, kemudian duduk di sofa butut yang ketika diduduki menimbulkan bunyi berdecit. Ia menyelonjorkan kaki dan memijitnya pelan.

“Den sekarang makin gagah. Badannya gempal mirip atlet angkat besi. Katanya, Den jadi sering olah raga sejak dipromosikan jadi sekretaris direksi.”

Entah mengapa, dadaku mendadak terasa sesak. Telingaku lagi-lagi seperti terkena sengatan matahari. Padahal, hari ini langit sedang mendung. Aku lekas beranjak menuju halaman untuk mengangkat jemuran dan memindahkan sangkar burung-burung kesayanganku.

“Oh, ya. Katanya, Den pulang Cuma mau minta restu soalnya dia mau ngelamar anak orang. Kalau direstui, tahun depan dia kawin. Duh, sempurna banget, ya, Den itu. Padahal, dulu dia nakal banget. Dan memang sudah sepantasnya orang mapan seperti Den harus segera menikah. Pasti orang tuanya bangga. Ibu benar-benar nggak nyangka.”

Tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirku. Otot-ototku terasa kelu. Entah perasaan suka atau tidak, tapi ketika hendak mengucapkan kata selamat untuk Den terasa begitu sulit. Den itu kawanku. Kami sudah bersahabat sejak kecil. Aku rasa, aku harus menemui Den untuk bersuka cita atas pencapaiannya. Bagaimanapun, Den adalah karibku yang meskipun dulu nakal dan bandel, tapi sekarang telah melampaui segalanya.

Aku ingat betul, dulu ketika di sekolah persaingan untuk mendapat nilai terbaik dan untuk dipuji di mata guru begitu ketat. Sampai-sampai, aku tak sudi untuk berbagi contekan. Kadang, aku malah sengaja memberikan jawaban yang salah kepada mereka yang tidak mau berusaha. Toh, sebenarnya tujuanku hanya ingin mereka lebih berjuang sedikit saja demi masa depan mereka sendiri karena kejujuran dan kedisiplinan adalah kunci kesuksesan. Itulah yang sering dikatakan guru dan juga slogan-slogan dan poster yang terpajan di tiap sudut sekolah.

Aku jadi menyesal. Mengapa dulu tak kubagi saja jawabanku agar kami bisa sama-sama dipuji oleh guru? Nyatanya, nilai itu hanya angka. Ia tak memiliki dampak apa pun selain hiasan di kertas satu lembar. Ah, mengapa aku baru menyadarinya?

“Den tadi mencarimu. Katanya, tolong sampaikan salam untukmu. Dia akan berangkat ke Jakarta sore ini. Maklumlah dia sekarang jadi orang besar dan sibuk. Pasti banyak kerjaan yang menumpuk. Dia juga tadi nanya, sekarang apa kerjamu? Ibu jawab saja dia kerja serabutan. Apa saja dia kerjakan asal cukup buat beli pulsa dan pakan burung-burung kesayangannya itu. Pas dia tanya tentang pacarmu, ibu jawab dia masih sendiri. Den juga katanya pengen mengajakmu kerja di Jakarta, tapi Den tak yakin kalau kamu mau. Sayang sekali, katanya.”

Aku tak mengucapkan apa-apa. Memang tak ada yang perlu disanggah dari perkataan itu. Aku hanya perlu menemui Den dan mengucapkan selamat atas kesuksesannya. Aku pun berniat ingin mengiyakan ajakan itu, tapi aku masih ragu. Mungkin di kantornya, aku akan jadi bawahan. Aku menjadi bawahan seorang Den yang dulu nakal itu? Yang nilainya selalu jelek itu? Rasanya, hal itu seperti pengkhianatan.

Hingga senja mulai habis, aku tak kunjung beranjak untuk menemui Den. Sampai akhirnya menjelang petang itu, Den melewati jalan depan rumah dengan mobil mewahnya, kemudian terdengar suara dengingan klakson dan berlalu menjauh. Aku senang melihatnya sukses sekarang sampai-sampai aku berharap ia selalu disibukkan oleh pekerjaan dan tidak pernah kembali lagi ke kampung ini.

Sejujurnya, aku ingin mengucapkan selamat. Den adalah temanku. Namun, ketika aku mengingat kata-kata Ibu, langkah kakiku terasa begitu berat seperti tertambat oleh sauh di kedalaman laut. “Den adalah anak yang baik. Semua kebutuhan orang tuanya dipenuhi tanpa kekurangan. Kalau kau menjadi seperti dia, sudah pasti aku menjadi ibu paling bangga seperti ibunya Den.”[]

2023

Penulis bernama Firman Fadilah, tinggal di Lampung. Karyanya berupa puisi dan cerpen yang pernah dimuat di berbagai media cetak dan daring seperti Radar Kediri, Radar Malang, Radar Madiun, Bhirawa, Magrib.id, Cerano.id, litera.co.id, langgampustaka.com, riausastra.com, ngewiyak.com, minggu pagi, suarabanyumas.com, Tanjung Pianang Pos, Suara Merdeka, potretonline.com, balipolitika.com, dan sukusastra.com. Ia bercita-cita ingin tetap konsisten menulis dan ingin agar kelak karya-karya tulisnya bisa menjadi bahan ajar di sekolah-sekolah.