Akhir Waktu

26/02/2024

Kata orang, banyak hal di dunia yang tak sesuai dengan harapan kita. Paksaan, itu mungkin hal yang menjadi faktor utama. Tatanan kehidupan yang sudah diawasi, bahkan sebelum kita hidup. Tak apa, tapi apa bisa diulang kembali? Sedetik saja.

Waktu yang berjalan begitu cepat terasa lambat, bahkan air sungai pun ikut melambat. Ada kalanya ikan-ikan itu lelah sampai wujudnya tidak terlihat lagi.

“Sudah lama kau di sini, Sa?” Pertanyaan itu menghentikan perlambatan waktunya menjadi normal. “Ah, baru saja. Baru 5 menit.” Dusta itu sudah menjadi tatanan jawabanku sejak lama.

“Kau jadi ikut? Gafar dan Yora sudah memesan tiketnya kemarin.” Pertanyaan yang selalu aku hindari, tapi kenapa muncul dari mulutmu. “Kau tidak ikut kan? Aku tidak mau menjadi nyamuk kebingungan di sana.” Kubuka tutup botol minum yang kugenggam dan menegaknya dengan tenang sampai munculnya suara yang membuatku tersedak, “Aku bilang begitu karena tadinya aku ingin mengajakmu ke pantai,” semuanya terasa lambat kembali, “berdua saja.” Tidak mungkin.

Sejenak otak ini kembali mencerna banyak praduga yang tak kunjung reda. Untuk apa dia berbicara seperti itu? Kenapa dia mengajakku? Dan yang terpenting, aku siapa? Aku siapa untuknya?

Dia memberiku sehelai tisu, “Jangan terburu-buru, Sa. Pelan-pelan saja, aku tidak akan memintanya.” Dia harus tahu alasanku bukan itu.

Setelah kejadian itu, kami duduk di sebuah warung tenda samping danau. Banyak orang berjalan-jalan, dengan keluarga, anak, teman, pacar. Mereka tampak senang, tapi kenapa kosong rasanya.

“Bagaimana liburanmu dua hari lalu? Menyenangkan?” Sedikit, tidak banyak. “Menyenangkan.” Singkat tapi tak ada maknanya. “Syukurlah, cerita saja kalau ada apa-apa. Tak usah malu, kadang gas semua bisa bertahan dan itu wajar.” Justru karena itu, aku malu kalau nyatanya aku tidak bisa bertahan seperti yang lainnya.

“Gafar dan Yora memesan tiket berapa? Biar kuganti uangnya” Kualihkan topik itu dan kuberanikan hal ini terucap dari bibirku, “Dan ayo kita ke pantai, berdua saja.” Kutatap perubahan raut wajah itu, hingga seuntai senyum menambah keindahan dari setiap inci wajahnya.

Dia mengantarku sampai ke halaman kos, pria dilarang masuk. “Kamu tidak ada jadwal kelas kan besok? Aku jemput kamu setelah kelasku ya? Sekitar jam 2 aku selesai, kukabari kalau sudah di jalan. Kau bisa bersiap sekitar ….” Mungkin sekitar 5 menit Ia tidak berhenti berbicara untuk esok hari. “Intinya aku yang menjemputmu ya, jangan tiba-tiba sudah di kampus menungguku, di sini saja.” Senyum itu terus menghiasi seluruh wajahnya. “Iya iya, kutunggu di sini, tidak ke mana-mana. Kau bisa pergi, istirahat sana.” Kudorong badan kekar itu keluar dari gerbang dan aku berjalan masuk kembali.

Kututup gerbang itu dan berjalan ke dalam. Langkahku berhenti, “Sa!” Tak kala sebuah suara kembali membekukan seluruh badanku. Aku berbalik badan dan kemudian di sambut oleh senyum dan perkataannya, “Selamat malam, semoga malam tahu kalau peri kecilnya kelelahan.” Dia, selalu tahu bagaimana cara membuat dunia ini berhenti berputar.

Kubuka pintu putih itu dan disambut oleh dinginnya malam. Kuletakan semua barang di atas kursi dan melangkah menuju kamar mandi. Kunyalakan soker dan mulai bersih-bersih. Perih, ukiran di lengan ini kembali terkena air yang dingin.

Selesai bersih-bersih dan beres-beres, kulangkahkan kaki ini menuju tempat tidur yang terlihat nyaman sebelum pikiran-pikiran itu datang kembali.

“Sudah, pergi saja!”

“Cepatlah selesaikan!”

“Jangan banyak nangis!”

“Tidak akan ada yang mendengar pendapatmu!”

“Mereka hanya pura-pura baik!”

Suara itu terhenti ketika dering ponselku berbunyi, “Ada apa, Yor?”, itu Yora. “Kau benar tidak akan jadi ikut?” Ahh masalah ini, “Iyaa, aku ada keperluan lain. Maaf, akan kuganti tiketnya.” Aku benci lingkungan itu.

“Ahh tidak apa, ada dari departemen lain yang ingin beli, lumayan.” Setelah berbincang singkat kututup sambungannya “Sampai jumpa lagi, Yora.” dan lekas tertidur.

Mimpi itu datang lagi, semuanya gelap. Hampa, tidak ada satu pun orang yang hadir di situ, hanya aku dan ruang hampa. Setalah sekian detik, bayangan itu datang lagi. Menyeramkan sampai akhirnya kembali terbangun dengan darah yang mengalir melalui hidung. Dengan cepat kuambil tisu dan kuusap darah itu hingga tidak tersisa.

Notifikasi di ponsel menarik perhatianku. Dokter Tara, Ia bilang besok aku harus Chack up lagi karena aku sudah bolos dari dua minggu yang lalu dan jarang kuminum obatnya. Tapi aku hanya ingin menunggu, entah sampai kapan, secepatnya mungkin.

Esok paginya, setelah salat, kembali kulihat ponselku. Ibu, dia bilang ayah akan bayar uang kuliahnya esok. Aku hanya bisa menjawab “iya bu, terima kasih.” Tanpa alasan dan akan selalu.

Sudah jam 1 siang, aku segera bersiap. Dia sudah mengirim ribuan pesan, katanya “Jangan lupa bersiap, aku tidak mau ini batal karena kau tertidur seperti yang lalu-lalu.” Yaa, aku selalu ketiduran ketika akan bepergian dengannya. Aku bersiap menggunakan dress simple disertai bando kecil untuk menghiasi rambutku.

“Aku sudah di halaman kostmu.

Setelah dia mengirim pesan, segera kupakai sepatu dan mengunci kamar kosetku lalu berlari untuk menemuinya.

Sampai di halaman kos, aku melihatnya melambaikan tangan ke arahku, “Jangan lari, aku di sini.” Senyum itu, semoga aku bisa melihat hal itu selamanya.

Setelah masuk ke dalam mobil, dia memutar playlist kesukaanku, katanya dia buat agar aku tak bawel kalau meminta pindah lagu. Dia cerita tentang hari ini menemani lamanya perjalanan. Aku melihat indahnya desa ini, udara sore hari yang menyejukkan. Di sana rumah warga terlihat damai, banyak warga yang sedang berbincang-bincang dan ada rumah sakit besar di situ. Sebentar, ini kita ke pantai mana?

Setalah kulihat kembali, ini pantai yang sering aku kunjungi kalau aku selesai check up. Dan itu, rumah sakitnya Dokter Tara. Kenapa aku gak sadar kalau kami kesini. Tapi sudah terlanjur, tak apa, aku tidak mau senyum itu hilang walau hanya sedetik.

“Sudah sampai, tunggu jangan turun.” Aku diam di dalam mobil melihat Ia tergesa-gesa untuk membuka pintu di sisiku. “Silakan turun, Peri Kecil.” Menggemaskan bukan? Tapi aku tidak mau menganggap lebih, sebatas teman saja cukup, kan?

Kami berjalan menyusuri pantai yang langitnya sudah berubah menjadi jingga. Suara ombak begitu menenangkan walaupun sekejap.

“Hari ini, tidak apa kalau pulangnya agak malam?” Dia bertanya sambil tangannya sibuk membawa tikar dan keranjang berisi cemilan. “Iya tak apa, selama tidak lewat dari jam 12 malam, nanti kamu dikira menculik anak gadis orang.” Ujarku disambut suara tertawa kecil.

Kami duduk sesudah meletakan tikar dan makanannya di pinggir pantai. “Andai setiap masalah bisa diselesaikan dengan mendengar deburan ombak dan melihat jingganya langit, mungkin aku akan kesini setiap saat.” Cantik dan melegakan, itu yang aku rasakan.

“Suaraku bisa menggantikan suara deburan ombak, Sa. Ragaku bisa menggantikan jingganya langit sore. Semua itu bisa aku bantu gantikan. Kau hanya perlu bilang padaku, Sa.” Air mataku sudah menumpuk di ujung mata, rasanya mereka saling beradu untuk keluar lebih dulu. Andai aku bisa bertahan lebih lama untuk itu, semoga saja.

“Katanya projekmu sebentar lagi rilis.” Kualihkan topik itu, “iyaa, bulan depan. Didengarkan jangan lupa. Liriknya juga di baca. Kau selalu melewatkan karyaku jika lagunya terlalu slow.” Yaps! Aku tidak mau mendengar banyak lagu yang galau, menambahkan beban saja. “Aku bikin lagunya lebih fun, jadi tidak ada alasan untuk kau tidak mendengarnya.” “Besok kau bisa mendengar laguku lebih awal. Aku janji!” Ada-ada saja. “Iya, tepati janjinya ya!” Ucapku.

Kami memakan makanan yang kami bawa, dia yang bawa lebih tepatnya. Katanya ini buatannya sendiri. Rasanya cukup mengejutkan, dia pandai memasak rupanya. Tapi kenapa kepalaku tiba-tiba pusing, aku coba mengabaikannya. Dia sedang bercerita proses pembuatan lagunya yang baru. Tapi suaranya tiba-tiba terdengar tidak jelas.

“Sa, kamu kenapa?”

Rasa ini, sangat tidak menenangkan. Hidungku tiba-tiba basah. Merah

“Sa! Kau mimisan!” Kenapa harus datang sekarang?

Dia sibuk mencari kain atau tisu dan pada akhirnya dia menggunakan kemejanya. Samar-samar aku melihat dia melepaskan kemeja putihnya, tersisa kaos hitam pekat melekat pada badannya. “Sa! Jangan tidur! Lihat aku yaa! Kita ke rumah sakit sekarang. Jangan ditutup matanya!” Setelah suara itu, semuanya gelap.

Putih, semuanya putih. Ruangan apa ini?

Samar kudengar suara dia memanggilku. “Sa, tolong bertahan.” Aku di sini, bertahan untuk apa? “Hai, aku di sini!” Kutepuk pelan bahunya, sebentar, kenapa tembus?

“Heii!”

“Hei! Kenapa aku tidak bisa memegangmu?”

“Kenapa ini?”

Itu aku! terbaring di atas kasur itu. Tapi kenapa aku bisa berdiri di sini?

“Hei, kenapa kamu tidak bisa melihatku?”

“Sa! Tolong!” Tolong jangan menangis. Senyummu lenyap, aku tidak suka!

Dokter itu berjalan keluar. “Mas, tolong bersabar ya,” dia bertanya “Dok bagaimana? Dia baik-baik saja kan? Peri kecil saya sudah bangun kan?” Ini aku di sini, kenapa dia terus bertanya pada dokter.

“Mas, dengan berat hari saya ucapkan, peri kecil mas sudah terbang tinggi di langit. Ikhlas ya mas,” ucap beliau sambil menepuk halus pundak dia.

“DOK, GAK MUNGKIN! DIA MASIH SADAR! CUMA TIDUR AJA KAN?” Histerisnya. Gafa dan Yora berlari dari kejauhan.

“Ka, udah ya sabar, ikhlasin. Dia udah gak sakit lagi.” Gafa menepuk sabar.

“DIEM GAF! SA MASIH HIDUP! IYA KAN YOR? DIA UDAH JANJI MAU DENGERIN LAGU GW!”

“Ka, udah! Dia udah tenang, udah Ka, jangan buat semuanya makin berat.”

Dia meluruhkan semua air matanya, senyumnya hilang semua.

Ah rupanya, duniaku sudah berbeda ya.

Keesokan harinya,

Semuanya berpakaian serba putih. Aku ingat, kalau aku pernah bilang ke Yora.

“Yor, kalo nanti aku mati pakainya putih-putih ya jangan hitam, gelap.”

Dia tidak menangis lagi, tapi tatapannya kosong. Sebagian sudah ada yang pulang. Ayah dan ibuku sudah mulai melangkah pulang. Tinggal dia saja.

“Sa, aku janji hari ini kamu akan mendengar laguku. Aku putar ya, aku tahu kamu bisa dengar.”

 

Malam bersimpuh senang

Melawan semua duka

Bersamamu aku bisa

Melupakan banyak hal

 

Raut mukanya kembali bersedih, ahh jangan seperti itu, Ka!

 

Aku hampir punya seluruh yang kubutuhkan

Tapi aku belum punya kamu

Pada malam yang indah

Ditemani banyak bintang

Kepada peri kecilku,

Maukah kamu bersamaku sampai akhir?

 

Aku sudah di fase akhir, Ka. Maaf.

 

Pagi bersimpuh sejuk

Melawan semua resah

Bersamamu aku bisa

Melupakan banyak hal

 

Aku hampir punya seluruh yang kubutuhkan

Tapi aku belum punya kamu

Pada pagi indah

Ditemani suara angin

 

Kepada peri kecilku,

Maukah kamu bersamaku sampai akhir?

Izinkan kumenggenggam hangatnya tanganmu,

 

Peri kecilku

 

Tentu, aku ingin dan kuizinkan, selalu.

Maaf, baru sekarang aku menggenggam tanganmu Ka.

Walau tak tersentuh, tapi hangatnya tanganmu masih sangat terasa.

Selamat berkelana kembali, Parka.