Serupa Jabal Qaf dan Puisi-Puisi Lainnya

05/06/2025

 

Memenggal Malam

Tubuhku tanah yang enggan dihuni cacing
hutan bagi bunga-bunga padma
di dalamnya, aku melawat seribu perut ular
menyimpan bangkai di balik sisik yang tak pernah kau sentuh
dan bila burung-burung berkicau
menyambut embun di bawah rimbun 
aku akan memenggal malam
mengawinkan nafasku pada setengah pagi
memakai badanmu sebagai pintu pembuka dosa
meratapi kepergian yang barang tentu
berlayar ke tempat terjauh
lalu aku, dan binatang-binatang ini
tetaplah makhluk
yang haram kau beri nama.


Serupa Jabal Qaf

Malam ini, aku tetaplah pendosa
menyapa malaikat di pundakmu
memberi secarik kertas berwarna magrib
sebagai catatan—fardu ditiru
sebelum isya
melahirkan subuh
di bawah lembah mataku.

Aku mengutuki seluruh gunung
saban hari ditemani rumput dan batu
di mana orang-orang datang menantang terjal
menjinaki jurang
demi menghidu kesunyian.

Sedang bagimu
aku hanya Jabal Qaf
induk dari segala bukit dan gunung
yang tak pernah lunas
untuk ditapaki.

Aku ini Jabal Qaf
kau percaya bahwa aku sesuatu yang maha
namun tak berwujud.

 

Hutan Kesedihan

Kala itu
kau melukis setengah bulan hitam
mengakhirinya dengan garis-garis merah
mencipta curah dari pelupuk mataku
dan menamainya sebagai hujan
yang turun tanpa ampun.

Di tengah malam
kau panggil pepohonan paling berduri
menyemai belukar hingga menggelebar
melepas kabut-kabut putih
lalu mengajariku cara bertapa
di hutan kesedihan.

Kau memuji iblis di balik cahaya
membuka neraka yang tertidur dalam upeti
menyuguhi api dengan retak paling rapuh
membakar aku berulangkali
hingga menjelma abu
yang teramat halus
untuk kau genggam.

 

Salah Tafsir

Alam tidak mengubah hukumnya sendiri:
Bahkan di dapur
api tak membakar apa pun
melainkan air dan panci
bersekutu menyembah riak
meranumkan kuning telur.

Alam tak membenci mekar:
Angin saja yang menggugurkan daun-daun
ia taat pada musim
musim ingin membelai ranting
menyapa tanah melalui bunga-bunga kecil
mengajarkan lebah dan kumbang
apa arti tabah.

Alam tak menghapus namamu
sebab tanpa cangkul dan tangan
setengah liang tak akan lahir

Alam itu serupa aku
kau tuduhi memberi rugi
dari balasanmu yang entah seribu kali
kucari-cari
tiada meski sekali


Luput dari Pena

Tapi puisi ini, bukan tentang ayah.

Ayahku bukanlah Adam
yang memetik cinta dari tunggul pohon nirwana
lalu melimbang ke hamparan bumi
mencari sahmura di dada Hawa.

Ayahku hanya petani
saban hari dipersilakan
meneguk hari perayaan tangis.

Di kampung kami
cerdas hanya suatu batu
tak muat di tubuh koran
tak dapat dihantam pena.

Di kampung kami
jujur serupa musim dan hantu
yang tak pernah
dilihat para pembesar.

 

Roda Nasib

22 tahun yang lalu
aku mengkhatamkan pematang dalam sehari
berkelahi dengan tidur siang
menyalakan api ditemani tepi mata ibu
menjaga kandang di waktu petang
dan menunggu beberapa lembu
lari dari tangan ayah.

Dalam puisi ini
aku debitur yang berutang pada buku-buku tua
tak akur dengan tidur malam
mencecap kopi kreasi istri
menanggal rumah kala pagi
mencari seribu pundi
menghidupi anak-anak.

 

Anomali

Barangkali kulit-kulit kayu adalah ibu dari segala yang tertulis
leluhur mengaminkan kematian, dan kertas menangkapnya
Kartini ingin emansipasi, lembar-lembar menyusunnya
puisi usai ditulis, kurasi memilahnya.

Barangkali, aku bukan seekor burung
melainkan zunbur yang mengunyah bangkai hutan
dan tak tahu, bernas suatu bunga.
Mungkin aku kasuari
yang di antara burung-burung itu
hanya aku
yang tak pernah
mendekati langit. 

 

Ilham Nuryadi Akbar lahir di Banda Aceh dan saat ini sedang merantau di Kota Pematangsiantar. Puisinya dimuat media lokal dan nasional seperti: Koran Tempo, Republika.id, Suara NTB, Koran Radar Banyuwangi, Omong-omong.co, Sastramedia, Lensasastra, Harian Rakyat Sultra, ideide.id, Literasikalbar, dll.