Pukul 04:15 dan lain-lain

26/05/2023

PUKUL 04:15 

pada Nina Setiawati, Ibuku   

 

Pukul 04:15 doa itu ibu tiupkan 

ke ubun-ubunku yang rentan 

aku diantarkan sampai pintu depan 

sampai keluar senyum khas ibu, tertahan  

kutangkap maknanya sebagai ucapan 

selamat jalan dan hati-hati di jalan, pelan

pelan kusimpan kesakitan demi kesakitan

demi sebuah kepergian

 

Pukul 04:15 kuucapkan terima kasih 

atas kasih yang kuterima, tangannya yang bersih 

kucium dan kugenggam penuh, bibirku mulai lirih  

merafal doa masa kanak, ibu menerima segala perih

  

Pukul 04:15 ibu tetap dengan posisi semula  

kendaraan yang akan memberangkatkanku, tiba

  

"Anakku, jika tak mampu mencintai, jangan pernah

pergi. Jadilah seperti yang kamu tulis, puisi”, itulah 

pesannya agar di kota besar anak sulung tak merasa kalah  

 

 

 

  NIDA’ 

 

Di langit merah marun 

canalisku hanya mendengar dzikir 

 

Tuhanku biarkan jisimku bercengkrama denganMu*   

Ketika Ismail menyeberangi Dijlah sepasang okulusku 

tertancap dua belati 

 

Pohon kurma membatu, awan ungu

seperti lakrimalismu yang gerimis 

di selasa wage 

 

Adalah gurun cengkar 

stapesku semakin pecah, mendengar kembali 

dzikir yang hatif 

 

Kujadikan Engkau teman bercakap dalam jantungku* 

 

Kebaqaan cintaku mengabadikan suara keledai 

bejana bulan, dan tujuh belas sumpah 

yang tersimpan dalam raka’at 

seperti kaca matamu bergaris putih benang ihrom 

 

Rabi’ah, kisahmu menambah bedak dan arang bagiku 

Rabi’ah, mahabbahmu denganNya sujudku di langit ababil 

 

* do’a Rabi’ah Al-Adawiyah 

 

 

 

LIMA MENIT SEBELUM TIDUR   

 

setiap kenangan tentangmu 

kupanggil lagi 

Aksen bicaramu, aku-kamu 

bergelombang tak jelas titik temu  

Mengingatmu seperti sebuah pulau 

yang kehilangan auman harimau 

Bilik ingatan, sebuah kenangan 

menuliskan namamu yang kedelapan   

 

 

 

SABTU HIJAU TOSKA 

 

Kenapa sebuah lukisan 

selalu melahirkan perasaan 

yang tertunda? 

 

Jemarimu 

 

Di sabtu hijau toska, seekor kunang-kunang  

di ujung jari penjahit, diam dan terbang 

di langit tanpa kerudung 

 

Perempuan rambut lurus 

 

Sesungguhnya subuh yang baka 

selalu melempar jarum suntik ke isi dada 

 

Cinta 

 

Adalah serigala yang melepaskan  

amarah ngiaunya, mencakar 

di wajah tirus lelaki 

 

 

 

PEMETIK HARPA 

 

Jemarinya adalah hujan 

yang jatuh dari langit ajali 

mekarlah tunas daun-daun 

musim semi dan kupu-kupu ma’wa 

seperti rindu yang menancap 

di bumi, setelah 999 tahun tiada 

kemarau memeluk jantung nilam 

manusia, kemudian merasakan  

bahwa ada sumur keabadian 

di sana, sejak detik itu 

 

aku makrifat   

 

 

*Lima puisi di atas diambil dari buku kumpulan puisi berjudul ‘Mana Putih dan Mana Ajal’ karya Mohamad Chandra Ju.

 

 

Mohamad Chandra Ju lahir di Tasikmalaya, 17 April 1993. Menulis puisi, esai, menjadi aktor teater dan sesekali menyutradarai. Alumni Jurusan Teater, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung. Beberapa puisinya sempat dimuat di beberapa media massa, cetak dan online, juga dimuat dalam beberapa antologi bersama, lokal maupun nasional. Terlibat dalam banyak pertunjukan teater di beberapa kelompok teater