Nasib Kota Pencemburu, dll.

11/10/2021

 

 

NASIB KOTA PENCEMBURU

di dalam geluduk itu, ketukan pintu menjelma rahasia orgasme para perompak di rabun matamu, kuberikan terumbu dan bebunyian menanti dari ambang neraka, lelangit senyap, memeluk erat kutukan yang gelantung di geladak hatiku, sehelai dan sehelai lagi, kabut mengabur ke lobang pori-poriku, menyembunyikan abu

dan lewat syair, tubuh kita terpejam dengan suara-suara; bangku, dada, pintu, cermin, memecahkan telur dan menetaslah sorga disamping gelak yang mencekik sebagian lesung dari pipiku, perayu, sang pecinta menyusuri gelap yang ditampilkan gelak mungil berudu, datanglah pagi,datanglah, sebab hari ini seteguk luka menjadikan kutuk adalah ranjang penuh peluk dan peluh

berjatuhanlah kata-kata dalam lenganku yang panjang, kelahiran baru abadi dan begitu kekal, mengembaralah cinta yang diperlihatkan hujan-hujan berguguran dalam kabut pelayaranmu, mengikrarkan rindu dan nasib kota pencemburu, nama-nama baru dan peta dunia baru

                                                                                                            Surabaya, 2021

 

TUBUHKU MENDAMBA LAUT

            :cycy

tubuhku mendamba laut dengan bahasa sendiri yang terdiam di kelokan rambutmu, lampu-lampu terhisap wangi tubuh, mengubahku menjadi seekor burung camar yang terbang menuju matahari

di sinilah kuingat kota-kota lenyap terpisah dari ledakan besar di dasar telingaku, suaramu telah mendatangkan pecahan meteor untuk membunuh seekor paus, tumbuhlah kematian-kematian atas nama sorga, beribu tafsir yang berombak muncul akibat udara yang berdentum, memancar-hancurkan segala penjuru

berulang kali tuhan mendapatkan rasa sakit dari tubuhmu, lalu pusaran air mengganas, tiap kujangkau langit, warna kegilaanmu berubah-ubah seperti keringat di lautan mengkristal

kukelilingi pelangi dari ujung ke ujung, menciptakan langit dan amis tubuh,  ketika pinggulmu melebar menurunkan seribu mahkota pemabuk, sunyi dalam telingaku mengamuk, memberikan warna merah tangis mataku yang hitam

                                                                                    Surabaya, 2021

 

MENENGGELAMKAN KEGAIBAN DENGAN LAGU-LAGU

terkucil dari dunia nyata, aku terbang sebagai asap rokok dengan hasrat singkat, terjepit cincin, masuk ke lobang jendela, hilang setelah lampu yang mengenalmu mati mulai tersusun

kau kaburkan senyum yang mengecap ingatan kita pada selembar kitab usang, sebentuk puisi saling menatap, di sulur jibril jantungku tercipta sejak bulan hitam dan segumpal gema debu terpenuhi semak-semak belukar

sekelebat dukaku memerah, melintasi sudut-sudut tergelap bibirmu, kau memutar-balikkan lidah dengan kata-kata yang tidak bermakna, sekecup langkahku terjatuh di masa silam, terombang-ambing di jalur putih lesung pipiku, aku menenggelamkan kegaiban itu dengan lagu-lagu, menaklukkan jiwa dari hantu-hantu

aku merangkai ujud bunyi dengan tubuh bayanganku, membentuk ketakutan cahaya, di dinding putih amis gemuruh jagat raya, mengenang tangis bunga-bunga

sekebun hatiku berbunga kematian, di tengah misa requiem, sepasang mata mengungkap misteri 1000 tahun,  bukan 100 tahun, di sebaris neraka, di selembar peta, aku pernah  berjalan-jalan di tengah neraka yang mengunci sebuah pintu evakuasi gempa pikiranmu       

                                                                                                Surabaya, 2021

BAHASA KITA ADALAH IMPIAN

bahasa kita adalah impian yang dipenuhi bayang-bayang dan tersangkut di pagar jembatan, kau susuri sesak dada dari nama-nama yang tertempel baja, pinggir kota yang membangkitkan gairah binatang dalam diriku

sebuah kamar seputih dirimu mengukur jalan simpang, di mana malam mendengar kutukan telah membakar gagak lalu melemparkan jasadnya di sepanjang jalan, bebulan tegak di mana truk-truk menaiki jalan ke sorga lewat paru-parumu

potret odeku sembunyi di dalam senyum mekar tuhan, ayah dan bunda, membanjiri bopeng  bulan dan meluap ke bui kita para penonton kesedihan seakan-akan meluberkan nyanyian api sumber kebahagiaan

seribu malaikat menyembur lewat pohon-pohon yang tersembunyi kabut, punggung karat di perbatasan rimbaku, memutihkan bunyi dari sayapnya yang lebar dan sedikit hangus, kau terbakar gairah

ingatan-ingatan tersusun dari mantra, sebuah kertas sebanyak pelikan membongkah karang ditaburi asin laut mulutku, meski seorang dengan akhiran i terus melemparkan kata-kata, di luar rumah, kavaleri meregangkan kakinya secara minimal dan semaksimal cerita-cerita kini

adakah kau lihat tanggal dalam kedua bola mataku, sepasang bahasa kehilangan diri, hanyut ke dalam zaman, lari ke dalam zona merah, dalam mimpi dan bahasa subuh

                                                                                                            Surabaya, 2021

 


Adnan Guntur, lahir di Pandeglang pada tahun 1999. Saat ini sedang melanjutkan studi di Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Airlangga. Aktif berkegiatan di Teater Gapus, No-Exit Theatre dan Bengkel Muda Surabaya. Bisa dihubungi melalui, email: adnan9guntur@gmail.com WhatsApp: 082134360773, Instagram: @pem.belajar_ dan @adnan_guntur.