Melankoli Menjelang Pagi, dll

11/04/2022

Melankoli Menjelang Pagi

 

Pukul satu lebih sembilan belas dan pesan yang tak kunjung terbalas

 

Jarum jam terdengar keras

Hening mengantar berpaket cemas

Kupasrahkan pada malam, segala yang membuat muram. Andai kau tahu, kekasih kenangan membikin hati remuk redam

 

Pukul setengah dua, suara kereta menggigit telinga

Suara-suara kecil bertanya-tanya: aku mesti bagaimana? Apakah mencintaimu adalah kesalahan buatku?

Lirih, hati mendawamkan namamu

Hening dan pedih, rindu menuntut temu

 

Malam dan pohon pisang di pekarangan berbincang, menerka-nerka: mana yang lebih deras, hujan atau kenangan yang tiap malam mengguyur keheningan

kesepianku atau kepergianmu yang lebih menggigil di ingatan

 

Aku diam, mengeja gejala: semua tentangmu di benak tak jua reda

Mengenangmu kadang membuat lega, kadang menyesakkan dada.

 

Menjelang pagi, puisi berjatuhan dari langit

Sebelum mentari terbit, kukantongi satu persatu bait demi bait

Kusimpan di hati paling sempit, untuk luka yang paling sakit.

 

Tegal, 2022

 

 

Ngantuk

 

Sebelum tidur, ada yang kondur dan membaur

bersama bantal, selimut, dan kasur

Kenangan membentangkan tubuhnya tiap malam

Menyajikan kau dan serenteng kerinduan

"Jangan tidur dulu, santaplah aku", kata rindu

Betapa-pun, kekasih, mengingatmu adalah patah hati yang terus menerus aku nikmati

 

Sebelum lelap, ada yang hinggap:

pada senyap, pada malam-malam yang pengap.

Hujan membasahi ingatan, kamar menampung lamunan, puisi menghayati ketiadaan, dan kau menanak lara di lumbung perasaan

Beritahu aku cara berdamai dengan sepi saat kau tak terjangkau oleh jemari

Lalu akan kubagi tahu kau betapa rindu adalah pahit yang mau tak mau aku telan sendiri

 

Pas lagi ngantuk, semua tentangmu merasuk ke hati paling lubuk.

Kekasih, di dada yang penuh hiruk pikuk, mengingatmu membuat hati sejuk.

 

Tegal, 2022

 

 

Nyanyian Pereda Hujan

 

Hujan o hujan, segaralah reda

Bawa pulang petir, angin, dan dingin

 

Terang teranglah, kekasihku hendak datang

Mendaur rindu yang telah usang

 

Hujan o hujan, tak lama lagi ia datang

Memikul segumpal kasih sayang

 

Kesabaran adalah payung

Cinta lebih deras dari hujan di akhir tahun

 

Datanglah, sayang

Singgahlah dengan sungguh

Rindu tak cukup tangguh melawan ketiadaanmu

 

Angin dan dingin tak kan jadi penghalang

cinta lebih hangat dari jas hujan

 

Hujan o hujan, segaralah reda

Biarkan kuterka:

kau atau pelangi yang lebih menyegarkan dada

 

Tegal, 2022

 

 

Rawamangun Tinggal Kenangan

 

Rawamangun dan semua yang pernah tersusun

Masih seliweran dalam lamun

Cita, cinta, dan harapan kurakit perlahan --Lebih pelan dari siput berjalan

 

Bertahun telah berlalu. Antara aku, kau dan per-aduan nasib. Kau memilih pulang, entah menyerah atau ada yang lebih cerah dari remangnya Jakarta.

Tapi aku dan pagi masih saling asyik menikmati. Nasi uduk mengaduk rindu yang hiruk-pikuk, manis senyummu dan pedas tekadku bercampur dalam sepiring tempe oreg. Katamu, koyo dene Nasi uduk, Jakarta terlalu gurih untuk langsung ditelan. Kunyahlah pelan-pelan: nikmati manis asamnya nasib dan pahit gurihnya perjuangan.

Bagaimanapun jua, Jakarta cukup mengenyangkan bagi lambung karyawan, juga teramat manis untuk dilupakan.

 

Kini, kau telah pergi. Menanggalkan sebait puisi yang rutin kunikmati.

Rawamangun dan kau meninggalkan kenangan yang rimbun; yang terkenang hingga ke ubun-ubun.

 

*Diselesaikan di Tegal, 2022*

 

 

Menerjemahkan Rasa

 

Pada puisi, aku healing

Merawat pening, mengobati luka yang tak kunjung kering

 

Pada kata-kata, aku terapi

Recovery dari ulkus di hati

 

Pada malam, aku ngopi

Meneguk sepi dan hangat air mataku sendiri

 

Pada kenangan, aku mencari

Serpihan tawa dan rerontokan mimpi di belantara sunyi

 

Pada siapa lagi, aku mesti

Menerjemahkan rasa ini?

 

Tegal, 2022

 

 

Sama-Sama

 

: Tiap malam

Kau dan rembulan

Sama-sama menerangi.

Hujan  dan kenangan

sama-sama merenangi.

Kopi dan sepi

sama-sama merenungi.

Kau dan aku

sama-sama merindui.

Kita, sama-sama.

Sama-sama mencintai dengan cara sendiri-sendiri.

 

Tegal, 2022

 

 

Akulah Rumahmu

 

Tenang, sayang

Aku atap yang kan memayungimu

Cemas dan sedih tak lagi mampu menghujanimu

 

aku tembok yang siap melindungimu

Sembunyilah dari gempuran overthinking-mu

 

Aku alas yang tabah menjaga langkahmu

Sabar menopang kelabilanmu

 

Merebahlah, kekasih. Nikmatilah sejuknya rindu

Akulah rumahmu, tempatmu pulang dari petualanganmu yang panjang. Kembalilah, pulangkan sebagianmu yang hilang.

 

Tegal, 2022

 

 

Lelaki dan Malam

 

Setelah riuh malam minggu usai, lelaki termangu sendirian di sudut kota.

Kepada malam, ia titipkan segumpal kerumitan. Barangkali bulan bisa mengurai benang kusut di pikiran atau minimal bintang-bintang bisa menerangi hamparan kelam di kedua matanya yang lebam, pikirnya. Langit malam memayungi kesedihan, bunga Kamboja di kuburan pinggir jalan menghimpun kecemasan-kecemasan yang berserakan di halaman perasaan. Lelaki dan malam bersama, seolah pagi tak pernah ada untuk menyapa.

 

Ia susuri garis malam sambil membayangkan wajah kekasih memantul pada tiang lampu-lampu kota

Kepada rembulan, ia curahkan semua kerinduan, juga perihal perasaan terhadap kekasih pujaan yang tak terjangkau oleh lengan, yang menelurkan kegalauan, yang siang malam ia puisikan. Lelaki dan rembulan berpelukan, kesedihan hangus terbakar terang, kepahitan sirna ditelan malam.

 

ia mampir ke angkringan yang hampir tutup sebab pukul satu lewat dan gerimis perlahan mengantup, ia pesan kehangatan pada secangkir kenangan. Sendirian. Kepada sunyi, ia pasrahkan diri: pada kata yang paling puisi, pada nada yang paling simfoni. Pada hening ia healing dari keramaian yang bising.

 

Lelaki dan malam ngopi, menyeduh suram dan menyesap sepi. Kepada lelaki, malam berjanji: akan menaungi siapa saja yang patah hati, akan tabah menampung berbagai kesah, dan akan sabar menelan bermacam kepahitan yang hinggap di tiap sanubari.

 

Kepada lelaki, malam berjanji

Lelaki dan malam saling mengasihi.

 

Tegal, 2022

 

 

Merayakan kehilangan

 

Apa lagi yang hendak kutulis. Mengingatmu lebih puitis dari kata-kata bermajas, membayangmu menanak bimbang di dapur pikiran

 

mengharapmu, memeluk gunung kemustahilan. Di sana, entah di mana kau berada, mungkin kau menjelma batu yang bisu memendam rindu atau hatimu lebih keras dari batu tak lagi paham apa itu rindu.

Di luar kemungkinan-kemungkinan kita bersatu, aku mengutukmu.

 

"Untuk apa berjumpa, kalau rasa tak lagi ada. Untuk apa bertemu, jika bara rindu tak jua menemukan tungku, katamu."

 

Pada setangkai bougenville kualamatkan rinduku. Di dedaunan yang layu sebelum jatuh dihempas angin. Pada senyap sebelum perih, kudendangkan senandung lirih:

O, angin, sampaikan rinduku sebelum matahari membakar seisi hati.

 

Apa lagi yang mesti kubaca. Jelas sudah, perpisahan mengabjadkan tubuhnya pada tembok penantian yang kusam, pada dinding-dinding pengharapan yang suram.

Tak ada air mata, aku pria. Merayakan kehilangan berarti menikmati kepahitan. Secangkir robusta tanpa gula kadang tak aman di lambung dan pencernaan tapi nyaman di lumbung penyesalan. Di ruang relung hati meraung: kesakitan, kehilangan.

 

Tegal, 2022

 

 

Zidny Hidayat, pria kelahiran Tegal yang saat ini tercatat sebagai karyawan di salah satu perusahaan jasa di Jakarta. Beberapa karyanya pernah hinggap di sejumlah media dan antologi puisi bersama. Sapa ia di Instagram: @zidny_nhyz dan Facebook: Zidny Hidayat.