Karena Jogja Hujan, dan Lain-Lain

17/02/2023

Di Bulan Januari

: Untuk K

 

I.

Tengah malam baru saja lewat

Ketika burung hantu mendayu-dayu

Seolah enggan diam di tempat

Seakan gelisah, merisakan sesuatu

 

Sinar fajar belum merekah

Ketika hujan bermukim di matanya

Terasa dini misalkan bersedih

Terasa dipaksa ia jadi melankolia

 

Subuh pun baru saja berdentang

Ketika hatinya dicambuk duka

Hari pun terlalu pagi baginya

Untuk menyeka air mata

 

II.

Mungkin daun-daun akan gugur

Persis seperti dua hari lalu

Ketika ada yang bergoncang

Dan aku akan tak ada lagi di sisimu

 

Hari pun segera lenyap

Dan kita dirundung cemas ketika senyap

Sedangkan genting di dada mulai bergemuruh

Dan kau pun aku, saling mendekap

 

III.

Walau lepas sudah jabat-erat jari jemari kita

Ketauhilah:

Ada yang tetap bergemuruh karena cinta.

 

(2021)

 

 

Menuju Rumah-Mu

 

Ketika aku berjalan sambil menutup mata melalui kegelapan malam

Sungguh pun tidak kudapati suatu halangan apa-apa.

Namun ketika aku berjalan dengan mata membelalak melalui kegelapan malam

Kakiku tersandung batu sekepalan tangan.

 

Sejak saat itu, aku mulai mengenal makna kata: "Hati-hati..."

Yang pernah dikatakan oleh seseorang kepadaku

Saat aku mau pergi, menuju rumahmu.

 

(2022)

 

 

Hatiku Adalah Ranting Pohon

 

Hatiku adalah reranting pohon

yang lurus dan tak berduri.

 

Suatu ketika, ranting itu kau petik di dekat pemukimanmu

Kau memilihnya di antara cabang ranting yang lain.

 

Ranting yang adalah hatiku itu

Kau genggam seerat mungkin

Menemanimu menyusuri belantara hutan yang bernama kehidupan

Dan mengibas segala rintangan yang berupa masalah.

 

Setibanya di tempat yang kau tuju,

ranting yang adalah hatiku itu kau buang tanpa sebab.

Mungkin kau lupa ia telah banyak berjasa

Dan kau memilih memetik cabang yang lain.

 

Hatiku yang adalah reranting itu

Kini terbaring di atas tanah

Terinjak-injak dan patah:

Tak ada yang peduli.

 

(2023)

 

 

Karena Jogja Hujan

 

I.

Dan sementara hujan semakin deras; di pinggir jalan, seseorang berteduh sendiri, lalu cemas, seperti gelisah menunggu hujan yang tak pasti reda.

Dan sementara malam semakin dingin; di dahan camar dua burung hinggap, lalu memencar, seperti tak saling mau berkabar.

Dan sementara detik jam bertek-tok, di rumah sakit, seseorang menunggu sambil berbaring, tak bisa tidur, seperti ingin bertanya:

"Apakah dia baik-baik saja di sana?"

 

II.

Saat hujan turun, rintik-rintiknya membawa setetes nada

Yang mengingatkanku akan sebuah partitur

Yang mendendangkan kekosongan

Aku tahu, kekosongan itu ada.

Ada di segala bentuk. Di segala materi. Di segala segi. 

Mungkin juga di hatiku.

 

(2023)

 

 

Sajak-Sajak untuk-Mu

 

I.

Akankah masih cukup bila kulukis kerinduanku

Dengan tinta darah di selembar daun hatiku

—sebelum akhirnya kulayangkan menuju singgasana-Mu—

Jika separuh lebih sisa tinta darahku telah meluber melalui robekan luka-lukaku?

 

II.

Dalam kesepianku, aku ingin mencarimu.

Dalam perjalananku, aku ingin mengenalmu

Lalu kususuri kesementaraan ini

Menembus mendung duka langit resamku.

 

III.

Dengan air mata, akan kubuang seluruh peluh keraguanku.

Yang kutahu selalu menghalangi kerinduanku.

Dengan tinta nanah, akan kutulis keyakinanku di selembar kertas hatiku.

Yang lalu akan kulipat dan kuterbangkan menuju bahteramu.

Dengan berbisik-bisik, akan kugumamkan asma-asmamu di ruang sepi-senyapku.

Yang kutahu Kau nyata ada di dalam diriku.

 

IV.

Yang kukandung sejak muda

Yang kucita-citakan sampai tua

Yang menjadi pedoman langkahku

Hingga kelak

Hingga habis ditelan waktu

Aku dijemput, aku ditimang.

Badan terbujur, kembali.

Adalah mencintaimu.

 

(2022-2023)

 

 

Taufik Ismanto. Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yang berdomisili di belakang Pesantren Al-Munawwir Krapyak itu, adalah juga santri Ngaji Filsafat di Masjid Jenderal Sudirman, Yogyakarta. Selain menulis, ia juga menggambar dan dua kali ikut serta pameran seni lukis. Instagram-nya: @topikismnt_