Dentuman Surga dari Ibu dan Puisi Lainnya

16/02/2024

 

Dentuman Surga dari Ibu

 

Pada sewaktu-waktu ia mengeluarkan suara, aku terperangkap

mengenakan renda kecil, ia diam saja

di pangkuannya sungai mengalir serupa terjun

terkulai aku tenggelam

pulang!

pulang nak!

: di trotoar suara yang berdenying

sebersit kisah sambunglah sebelum sore, menganga

sementara masa ke masa menjadi jembatan

sebelum tidur dan pintu rumah unik sekali

menua di balik kain super hero, bersama kartun-kartun pagi

"Nak, siapa lagi rerimbunan pohon yang tak terlihat menghubungkan lengan-lengannya sebab berlama-lama menua oleh musim"

jantung berdegup dimainkan biola, tangan mengepal kerikil merabuk wajah anak kecilmu, se masa kecil

menyeringai lebar di sengatan

matahari cepat-cepat berbenah

lewat rongga-rongga bajang dan padi yang dimasak dalam kaleng

saling bergumul, bergegas! betapa ikhlas anak-anak

suara itu lagi, mengemas jangkrik yang balita di jalanan masa lalu

tapi tidak hilang tubuh ibu yang memilih mengisi kata untuk buah seusai impiannya

sungguh, ini masa panjang setiap dipajang tentang galeri terpopuler dan khas lahir bergaun muara.

 

Sumenep, 2023

 

 

Berita-Berita Berbeda di Rumah Kita

 

Sewaktu silam

tetap kugenakan harapan, membunuh propaganda kota-kota

menampi sisa moral, landscape panjang

dengan kesejahteraan semesta

api melalap kertas basah

sembari itu, pada suatu hari akan kunyanyikan doa-doa

 

Ayah mendendang lagu iktikad

seribu syair untuk rumah kita yang terzalimi

kegelapan malam pun sirna dari luntur

tanah-tanah subur, berlumut kata

ditanami bunga-bunga matahari orange

ya, harapan tetap akan kukenakan

untuk merinci kedalaman bumi

dengan segenap kata pokta

bijaksana bukan?

 

: untuk mereka kancil

masing-masing memegang gelas dingin

beranjak dan berpamitan wajah

agar dikagumi sejarah

dengan arah berbeda, bersarang seperti lebah yang gigih

selagi sama, anak-anak mendirikan mainannya pun tangan gemetar

yang lain menggambar dengan warna-warni

satu gelas disambut

potongan ikan nila dengan bumbunya, pulas

membawa kita

mendayukan persamaan

tapi yang dirasai tubuhnya sendiri.

 

Sumenep, 2022

 

 

Tuan: Tabiat dari Hujan

 

Relung hati saat hujan menggambarkan roh-roh cerlang

dengan segala mata terkesima dibuatnya

deras menghujani kota-kota kering, tubuhnya gigih

bersama embun habis hujan yang lama tak turun

 

Kueja jejak kakimu dengan abjad dan angan kosong

adakah yang lebih peduli ketimbang hujan?

dari surau aku meleleh, membiarkan mengalir di bawahnya batu-batu kristal

namun tetap saja kau menenggelamkan oretan tua dan kuserguk bunga

 

Tuan, aku tak tahu mengenal sosok sapaan hujan saat ini

dingin berkali-kali membelai kepala seperti di dongeng-dongeng

 

Tuan dari Kembangsoka

ditanamnya padi dan jagung pagi-pagi, dirapalkan mantra

huruf, saraf-saraf pada masing-masing yang merunduk

memalingkan tirai semu mengetuk jagat

oh, keramat.

 

Telang, 2022

 

 

Yang Bernama Penyesalan

 

Dan lagi-lagi penyesalan mencibir tubuhmu tumpah

yang lain menenunnya dengan wajah kopi

putaran waktu meronta pada lampion mawar

membungkus tubuh ringkih, membludak labirin kecemasan sedang anak-anak menghitung setiap detik kemudian, ayah memaklumi musim hujan yang gigil

kota mati dan berbulu, lihatlah

ketidakpastian adalah pintu masuk utama derita

lewat jurang jantung tanpa pemanis jiwa

 

Hari berganti pukul setengah malam

jangan paksa aku

ke bukit tertinggi saat piawai memainkan debu

pilu tertusuk belakang, bernyanyi di panggung pentas

hujan kita sama

di angka pelepah wajah angin

kencan pertama sudah di mulai

dari wujud maslahat yang telungkup

sehingga tak ada salahnya untuk memanggul malam-malam

dengan tengadah terdalam.

 

Sumenep, 2022

 

 

Kantuk dan Imajinasi

 

Rak-rak dipajang orang-orang mengintip

mengelus legit pipinya yang tenggelam di buku-buku

terkadang aku juga diajak untuk tenggelam di dalam sana

sekedar memupuk bumi memaknai renyah kata, luas-luas loka

 

Ternyata aku ditikam menukar ingatan separuh helai

menerka mimik muka orang bisu; akrab disapa manuskrip

mengetahui siratan sejarah

mutakhir untuk lampu-lampu, jagat secara

: tak ada beda dengan yang arif. Beban digandar.

 

Yang kaku bisa menukar tangkap dari pusaran kalimat yang diucap

dari kantuk lawan lepas

"Binatang piaraan saya, tidak pernah mengurungnya dalam kandang"

berucap ia.

yang merasa bisa mengasingkan diri, ke dalam celah

berulang dalam sirah pergaulan.

 

Lalu, kita tabuh di ruang bunga, meski kantuk itu.

Di rak-rak bahagia mereka seperti mantra, kantuk dan malas diluntur

patri sebuah lakon wayang indah.

Duhai… mereka

menguasai dahaga.

Hidupi ruh, demi asa demi masa

Ibu kita padinya menguning bukan? Lahir tanpa buah siwalan.

Ruang pengap mencipta abjad-abjad; melayari momentum, menyinari yang suram.

 

Telang, 2022

 

 

Anak Itu

 

Santunan anak itu menggelegar mereka cabik untuk ingat kepedulian

burung nan hijaunya menghunus pedang dari para pemburu

sebungkus nasi dalam kehidupan manusia sehari-hari

menjelma nahkoda dan bingkisan itu entah berantah pupus

dari tanah kelahiran menuju dialog hariba Tuhan.

 

Yang terucap akan sirna selebihnya adalah burung terbangun dilengkapi lafal yang terapal sangat

pentingkah pemberian kepada anak pungut itu sedang mereka cacat dari tua

memaknai memang membawa mereka kembali pada habitat aslinya

selagi nada ditabuh mencuat segala ruang

yang benderang akan semakin luluh bila ibu mengiringi langkahnya hingga perjamuan

 

Terakhir nanar kami,

hadiah untuk mereka tentang tuhan dengan segala yang mustakim

bibit manis menjejal untuk diabadikan

sewaktu-waktu kumasuki tubuhmu mencicipi racikan biar menyesali diri sendiri

abdi negara masyarakat merekah dari Tuan kepada anaknya

agar jadi pualam di setiap jalan.

 

Bangkalan, 2022

 

 

Muhammad Zayyad, lahir di Sumenep. Gemar menulis puisi dan naskah film. Saat ini aktif sebagai kepala divisi sastra UKMF Kesenian ABStra Bangkalan.  No. WA: 082338542153. Ig: zymakeen