Bunga Abadi, dll.

20/06/2022

Bunga Abadi

 

Jejak huruf penyair mengabadi dalam guyur hujan di sore hari, namun kelopak-kelopak Mugunghwa lebih dulu menjelma saksi jerit lelah yang memimpi merdeka.

Musim panas terasa gerah bagi pemburu angka, sedang Mugunghwa melambai menggoda para pengelana yang merindui rumah.

Jika terik memaksa padi meneguk banyak air, maka Mugunghwa dengan tabah menerima terik tanpa mengurai kesah: Bukti ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni.

Kini,

Mugunghwa tetap menepati janji,

Menjadi bunga abadi,

Menyerbak bau wangi,

Tentang kebebasan yang tak boleh mati.

 

Pandaan, 2 Maret 2022

 

 

Negeriku Beragam, juga Seragam

 

Katamu Negeriku sayu,

gema beduk menggema sendu.

Menari-nari di antara untaian suci penyibak pilu.

Sedang di ujung waktu, lelaki berbaju lusuh sibuk memintal rindu.

 

Katanya Negeriku kaya,

pala dan lada menjelma permata,

para pemburu dengan mudah mencium aroma,

berebut sebidang tanah yang dikata tanah surga.

 

Di sini candi menjadi saksi,

bahwa yang mati terkadang lebih abadi.

Surau kerap berteriak parau,

menanti hati-hati yang risau.

Isa juga tampak mempesona,

dalam bingkai puja di temaram senja.

 

Aku ada di mana-mana,

di antara cela sayap Garuda,

yang menerima semua warna,

dalam satu tarikan suara: Indonesia!

 

Surabaya, 17 Agustus 2021

 

 

Simbah

 

Sayu matamu menimbun lara, getir, dan tawa kehidupan yang kadang lebih sunyi dari kematian.

Mahkota yang tak lagi hitam berurai kusut, suaramu parau saat berceracau tentang gunung Prau.

Pada akhirnya; tak ada yang bersisa.

Muda adalah omong kosong yang tak berdata di hadapan tatapan tajam tua.

Waktu tak lain hanya kefanaan beku yang berakhir di genggaman takdir.

Mbah,

Izrail sudah rindu.

 

Surabaya 9 Mei 2022

 

 

Cinta Zulaikha

 

Biarkan saja aku dipasung, asalkan di sini Yusuf terkurung.

Bukan masalah jika waras tak lagi ada, cinta yang waras bukankah memang tak pernah ada?

Aku rela menjelma Hawa, sebab perpisahan hanyalah pertemuan yang sengaja diklimakskan.

 

Perhiasan hanya tipuan, keindahan adalah rupa lara, dan kedudukan tak berarti apa-apa di hadapan kegilaan.

 

Yusuf,

Aku akan kaya dan berwibawa, hanya jika menjadi pelayan-mu.

Tawanlah aku!

 

Surabaya 9 Mei 2022

 

 

Akhmad Idris. Lahir pada tanggal 1 Februari 1994. Saat ini menjadi dosen Bahasa Indonesia di Sekolah tinggi Ilmu Bahasa dan Sastra Satya Widya Surabaya dan STKIP Bina Insan Mandiri Surabaya. Sudah menerbitkan buku kumpulan esai dengan judul “Wasiat Nabi Khidir untuk Rayat Indonesia” (2020), puisi dan cerpennya juga menyabet kejuaraan dan tulisan-tulisannya yang lain dimuat di berbagai media juga media cetak. Dapat dihubungi dengan No. telepon: 082139374892, WA : 089685875606, FB : Akhmad Idris, dan IG : @elakhmad dan @wnkuri_official.