Arturo dan Kesedihannya
Barangkali aku adalah Arturo.
Bukan Beruang Kutub sungguhan,
tapi semacam—
makhluk yang dilahirkan oleh salju
dan dibuang kepada musim yang tak mengenalnya.
Setiap hari, aku bangun
di tempat yang seolah rumah,
tapi tak pernah betul-betul memelukku.
Bahkan aku lupa,
untuk apa ada di sini. Siapa yang memutuskan
aku harus tinggal,
mengangguk,
dan tersenyum di antara orang-orang yang tak tahu
bahwa tubuhku selalu kedinginan meski matahari menyengat.
Mereka pikir aku baik-baik saja
karena aku diam. Untuk tetap bernapas di tengah udara yang asing.
Sekali waktu aku berpikir:
“Jika kita lahir di tempat yang salah,
dan tumbuh menjadi sesuatu
yang tak kita pahami,
apakah kita tetap bisa disebut hidup?”
Ada hari-hari di mana aku bermimpi tentang salju,
ibu yang melahirkanku, bernyanyi dengan suara laut beku
dan kesendirian yang jujur
dan jika aku bukan Arturo,
kalau begitu siapa aku?
Makhluk yang salah tempat,
salah waktu,’
tapi tetap mencoba mencintai dunia
yang tak memberi ruang.
Ya, aku adalah Arturo.
Dalam tidur terakhirku,
berjalan menyusuri lorong es tak berujung
tanpa mata yang mengadili kesedihanku,
tanpa mereka—
yang terlalu sering mencintai dengan memenjarakan.
Kiska
Kiska tidak pernah memilih laut,
tapi ia lebih tidak pernah memilih
tangki beton ini—
diam, dangkal dan tak pernah memberi gema.
Ia pernah berenang di laut
bersama ibu, arus dan malam tanpa lampu
sekarang ia hanya menghitung hari
dengan melingkar di air
yang tak pernah berubah suhu atau arah
sedang tubuhnya perlahan kehilangan nyawa
tapi tidak diizinkan mati
sedang air di tangki menjadi terlalu asin
bahkan untuk seekor paus yang terlahir dari ombak
Ia berenang bukan karena ingin,
tubuhnya tak tahu cara lain untuk tetap hidup
bersama kesepian yang paling sunyi
saat masih bisa mendengar
gaung tawa yang sudah tak mungkin kembali.
Yang Pergi Lebih Dulu dari Bibirku
Tiada yang tahu harus kukemanakan tubuh yang beku
dan tangis yang tak pernah sempat kaupeluk.
Seperti anak anjing laut harpa—
Ditinggalkan pada sepuluh hari pertama.
Barangkali begitulah caranya hidup:
harus tahu cara bertahan sendirian.
Aku tumbuh
tanpa tahu bagaimana membasuh luka
atau menanggalkan kesedihan sebelum tidur
jadi aku tidur sambil menangis
yang berubah jadi kebiasaan
yang akhirnya kuanggap sebagai selimut.
Aku bertanya pada waktu
berapa jauh harus pergi agar rasa ini tak menjadi rumah
tapi waktu hanya menua di tubuhku
seperti dingin yang tak mau pergi dari bulu putih
seekeor anak anjing laut yang menunggu
tapi tak tahu
siapa yang akan datang.
Seekor Luka Bernama Flavia
Di kebun yang tak kutanam
aku hidup, dari gerbang yang tertutup
menuju tembok yang sama.
Aku mungkin saja Flavia:
seekor ingatan yang dibiarkan membatu
dalam tubuh yang terus tumbuh tanpa pelukan.
Aku mengunyah waktu seperti rumput kering
yang tidak pernah benar-benar mengenyangkan
setiap malam
aku mendengar langkahku sendiri
berjalan dari ujung kepala
ke jantung
dan mulai lupa caranya menangis.
Flavia, namaku
atau namamu?
atau siapa saja yang pernah mencintai
dan tidak pernah dibebaskan?
Dalam tubuhku sendiri
aku terus mengecil
setiap kali aku ingin pulang
52 Hertz
Suaraku adalah luka yang berenang
dari satu kedalaman ke kedalaman lain
tanpa pernah disambut.
Lima puluh dua hertz
menjadi angka yang tak pernah dijawab
seperti doa yang dikirim dari kamar paling sunyi.
Sekali waktu aku percaya:
lautan cukup luas untuk menemukan
seseorang, berbicara dengan kesedihan yang sama
tapi tak ada yang datang
hingga aku menyebut diriku paus
agar kesepianku memiliki tubuh
karena tak ada yang lebih menyakitkan dari menjadi nyanyian
yang tak diingat oleh laut itu sendiri.
Adellia Oktaviani, Cianjur, 2002. Sedang menyelesaikan studi S1 di Universitas Pendidikan Indonesia. Aktif bergiat di Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS UPI) Beberapa tulisannya dapat dijumpai di media cetak dan daring. Sapa diam-diam di Ig: @adelliaokt27.