Tasik

20/02/2023

Rek ka mana geus gaya kitu?

Rek ka Tasik heula, ulin ka AP! Ucap seorang pemuda yang juga bertempat tinggal di teritorial Tasikmalaya.

 

Tasikmalaya, sejak 17 Oktober 1986 terbagi menjadi dua wilayah administratif, yakni Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Tasikmalaya. Kota Tasikmalaya yang hanya memiliki luas 171,61 km dan jumlah penduduk tercatat yang tak sampai 1 juta orang per bulan Febuari 2023 ini tentu sangatlah berbeda dengan saudara tuanya, Kabupaten Tasikmalaya.

Kabupaten Tasikmalaya memiliki luas total 2.712,52 km dengan pembagian wilayah yang mencapai 39 kecamatan dan 348 desa. Membentang dari Kecamatan Salawu di bagian barat sampai Kecamatan Karangjaya di bagian timur, Kecamatan Cikalong di bagian selatan sampai ke Kecamatan Pagerageung di bagian utara.

Kebijakan pemekaran wilayah Tasikmalaya tentu berdampak pada banyak hal. Mulai dari perbedaan sektor penghasil pendapatan bagi masing-masing wilayah, perseteruan hak milik aset, hingga ranah sosiokultural dan kebiasaan berbahasa masyarakatnya yang menarik untuk dilihat lebih dalam.

Pertama, hal yang cukup menarik perhatian adalah di dalam mesin pencari “Google”, Kota Tasikmalaya dibubuhi sebuah foto dengan wilayah yang padat penduduk, rumah-rumah yang rapat, dan jalur kendaraan yang sesak macet. Hal ini tentu saja berbanding terbalik dan dapat dengan mudah ditebak, gambar apa yang akan muncul ketika kita mengetik Kabupaten Tasikmalaya di mesin pencari. Ya, pasti kita akan diperlihatkan bentangan gunung, rimbun hutan, dan objek wisata yang segar kehijauan. Untuk hal ini, nampaknya paradigma masyarakat bahwa kota haruslah macet, sesak, dan padat penduduk sudah kadung melekat dalam rekaman sosial kita. Sedangkan kabupaten, haruslah tetap menjadi wilayah yang asri, hijau, luas, dan tanpa pembangunan. 

Kedua, masyarakat Kabupaten Tasikmalaya seperti kehilangan klaim identitas Tasikmalaya mereka. Mengapa demikian? Apakah pernah mendengar percakapan seperti ini?

       Rek ka mana geus gaya kitu?

       Rek ka Tasik heula, ulin ka AP!

Bisa saya pastikan, bahwa percakapan-percakapan semacam itu hanya akan kita temui dari perbincangan masyarakat yang tinggal di wilayah Kabupaten Tasikmalaya. Ternyata, entah sudah menjadi kebiasaan atau ada faktor lain, masyarakat yang menempati wilayah Kabupaten Tasikmalaya menganggap bahwa “Tasik” adalah sebuah wilayah yang berada di luar diri mereka, “Tasik” yang mereka maksud adalah wilayah administratif Kota Tasikmalaya.

Hal yang sama tak terjadi pada masyarakat yang menempati wilayah Kota Tasikmalaya. mereka tak pernah menyebut gunung Galunggung, pantai Cipatujah, atau tempat ziarah Pamijahan sebagai “Tasik”. Mereka akan lebih memilih mengatakan tempat tujuan mereka secara langsung. Lantas, apa faktor utama perubahan dan fenomena ini sebenarnya?

Kalau boleh menyusur lebih dalam, letak geografis yang timpang jauh antara wilayah Kabupaten dan Kota Tasikmalaya nampaknya menjadi salah satu faktor yang memengaruhi fenomena ini. Masyarakat Kabupaten Tasikmalaya mungkin saja merasa sangat jauh dari letak wilayah Kota Tasikmalaya. Belum lagi tingkat pembangunan Kota Tasikmalaya yang melesat semenjak disahkan menjadi wilayah administratif sendiri juga sangat mempengaruhi. Sektor industri yang berkembang, berbondong-bondong ekspansi para pemodal masuk ke wilayah kota, serta akses perangkat teknologi yang lebih mudah dijumpai daripada di wilayah kabupaten semakin membuat masyarakatnya merasa asing dengan sang saudara muda. Mereka, masyarakat Kabupaten Tasikmalaya, sudah menganggap “Tasik” adalah wilayah yang sudah berada di luar dirinya, “Tasik” yang sudah berjarak dan asing, layaknya mereka memandang Kota Bandung, Kota Jakarta, atau kota-kota besar lainnya. Dan minggu depan, saya juga mendapat undangan pernikahan dari kawan, di “Tasik”.

 

Agus Salim Maolana.