WARJO DAN ROMANSA MAHASISWA UNSIL

07/11/2023

Kaluar yuk, bete. Bisikku pada dua orang kawan di tengah acara Stadium Generale Universitas Siliwangi yang diadakan untuk Mahasiswa baru tahun 2016. Sesaat kemudian, aku dan dua kawan itu sudah berada di luar Gedung Mandala.

Dulu, sebelum Masjid Al Muhajirin Universitas Siliwangi dipugar seperti sekarang, di seberang halaman belakang Masjid itu ada sebuah lawang tembok yang cukup untuk masuk keluar satu orang. Tembok itu sebenarnya adalah batas area kampus dengan wilayah perkampungan sekitar, membentang sepanjang area Unsil. Mungkin, karena ukurannya yang hanya cukup dilewati satu orang, lawang tembok itu dikenal dengan sebutan Pintu Doraemon oleh Mahasiswa Unsil. 

            Kalau sekarang, di luar Pintu Doraemon itu telah dipadati oleh aneka warung makanan. Mulai dari warung seblak, warung nasi berkonsep lesehan, belasan gerobak jajanan, bahkan area parkir yang dari pagi hingga malam akan selalu sesak. Maklum, mahasiswa Universitas Siliwangi makin banyak tiap tahunnya. Dulu, setidaknya ketika pertama kali aku menginjakkan kaki di Unsil, di balik Pintu Doraemon itu hanya ada beberapa gerobak jajanan. Tak lebih dari lima. Lalu, terdapat satu warung makan lengkap dengan etalase kaca dan berbagai lauk yang tersedia di dalamnya. Warung makan itu seluruhnya bercat hijau. Ternyata, hari di mana Stadium Generale itu diadakan menandai kisahku dengan Warjo, Warung Hejo.

            Meninggalkan Stadium Generale yang masih berjalan, aku dan dua orang kawanku melipir ke warung berwarna hijau di luar Pintu Doraemon tersebut. Pesanan pertamaku di warung itu adalah segelas kopi saset dingin. Demikian dengan dua kawanku. Tak ada mahasiswa lain di warung itu, hanya kami bertiga dan seorang perempuan pemilik warung itu. Kami yang baru pertama menginjakkan kaki di warungnya disambut dengan senyum ramah dan beberapa pertanyaan darinya. Tak terasa, kami bertiga terlibat dalam obrolan dengan Ibu pemilik warung sebelum akhirnya harus diselesaikan oleh beberapa rokok yang ternyata telah raib dari bungkusnya. Kami membayar tiga gelas kopi, lalu kembali ke dalam Gedung Mandala.

            Makin hari, aku dan kawan-kawan makin kerap untuk sekadar nongkrong dan makan di warung itu. Rasanya, tak ada barang sehari pun kami absen untuk datang. Aku ingat betul, menu andalanku di warung itu adalah sepiring nasi hangat yang boleh diambil sesuka hati, tempe orek dan telur balado yang diguyur kembali oleh sambal merah. Makin nikmat kalau dilengkapi dengan potongan timun dan beberapa lembar kol segar sebagai menu lalapan. Untuk catatan, semua yang tersedia di warung ini boleh diambil langsung sesuka hati, sawaregna. Urusan rasa, jangan diragukan. Masakan-masakan ala rumahan selalu jadi pengobat rindu bagi mahasiswa rantau.  Untuk urusan harga, itulah yang paling jadi nilai plus di warung ini. Benar-benar ramah dan sesuai dengan saku mahasiswa yang tiap makan atau nongkrong harus selalu berhitung lebih dulu. Gamabaran sederhananya begini, untuk sepiring nasi porsi masing-masing perut dengan lauk ayam goreng dan segelas teh manis dingin, para pembeli cukup mengeluarkan uang sepuluh ribu rupiah saja.

            Berhubung saban hari sudah menjadi langganan, aku dan pemilik warung itu jadi semakin akrab. Oleh anak-anak jurusan Bahasa Indonesia angkatan 2016, beliau dikenal dengan nama Bu Warjo. Warjo sendiri adalah akronim dari Warung Hejo yang dalam bahasa Indonesia berarti Warung hijau. Sebutan Warjo begitu saja tercetus olehku dan beberapa kawan untuk menamai warung tersebut. Setelah beberapa lama, kuketahui ternyata anak perempuan dari Bu Warjo juga merupakan Mahasiswa di Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia Unsil angkatan 2015, satu tingkat di atasku.

            Hal yang kukagumi dari Bu Warjo adalah kebaikan dan ketulusan hatinya. Aku tak tahu ini berlaku bagi mahasiswa lain yang juga sering makan di Warjo atau tidak. Namun, salah satu kisah kebaikan Bu Warjo yang sampai kapan pun takkan pernah kulupa terjadi kisaran bulan September 2017 yang merupakan bulan Haji dalam kalender Islam.

            Assalamuallaikum, A agus. Enjing siang bade tuang di mana?. Sebuah pesan Whatsapp kuterima. Pengirimnya adalah Bu Warjo.

 Waallaikumsallam, Bu. Panginten sapertos biasa, di Warjo. Kaleresan enjing aya kegiatan mabim Mahasiswa Baru. Balasku. Kala itu, bertepatan juga dengan minggu-minggu sibuk di mana aku yang menjadi anggota Himpunan Mahasiswa harus menjadi panitia dari kegiatan Masa Bimbingan Mahasiswa angkatan 2017. Pesan Whatsapp dari Bu Warjo, hanya kuanggap pertanyaan biasa.

            Oh, muhun A Agus. Ka Warjo we nya enjing siang tuangna. Pungkasnya menutup pesan.

Esoknya, sekitar pukul setengah dua siang, kegiatan Mabim di hari itu selesai. Selepas Salat Zuhur, aku dan kawan-kawan lain langsung menuju Warjo. Sudah Sejak dua jam sebelumnya perutku berisik minta diisi. Melumat sepiring nasi hangat, tempe orek dan ayam goreng yang ditutup dengan segelas teh manis dingin di Warjo adalah Self Reward untuk rasa lelah hari itu. ketika sudah berada di depan Warjo, pintunya sedikit tertutup. Tak ada menu lauk pauk di etalase kacanya. Mungkin, hari itu Warjo mendadak tutup. Beberapa saat kemudian, suara Bu Warjo terdengar sambil membukakan pintu.

            A agus, hayu ka lebet! serunya.

            Ibu, naha geuning tutup? penasaranku.

            Baru ketika kumasuk ke Warjo, di meja panjang tempat orang-orang makan sudah tergelar menu prasmanan; beberapa bakul nasi dan berbagai olahan daging sapi dan daging kambing. Satai, rendang, rawon, berikut piring yang sudah bertumpuk.

            Ngahaja Ibu dinten ieu teu buka. Hoyong masak kangge A Agus sareng rerencangan. Kaleresan Bapak kenging jatah daging Qurban seeur. ucapnya sambil membagikan piring kepadaku dan kawan-kawan.

Dari situ aku mulai mencerna pesan Whatsapp Bu Warjo yang dikirim tadi malam. Aku yang jelas saja kaget bukan kepalang. Pasalnya, untuk apa Bu Warjo sampai harus repot-repot memasak sebanyak itu dan disuruhnya aku dan kawan-kawan makan gratis. Tak hanya sampai di situ, setelah makan, Bu Warjo kembali membungkusi makanan-makanan itu untuk kubawa pulang dengan porsi yang tak wajar banyaknya.

            Lumayan A Agus, ameh teu meser ke wengi. ucapnya terdengah tulus.

Siang itu, aku jelas makan terlalu kenyang. Sama halnya dengan kawan-kawanku yang lain. Kami masih duduk-duduk di depan Warjo sambil merokok dan istirahat. Di dalam Warjo, hidangan prasmanan masih tersaji, nampak tak berkurang saking banyaknya. Kemudian, lewatlah beberapa Mahasiswa baru yang tadi baru selesai Mabim. Kupanggil mereka untuk melipir. Benar saja, mereka belum makan. Bu Warjo memaksaku untuk menyuruh mereka makan. Alhasil, Maba-maba itu makan dengan malu-malu. Mereka juga dapat bungkusan dari Bu Warjo.

            Untuk nama Warjo sendiri, sebenarnya aku tak begitu ingat kapan nama itu dengan tepat tercetus. Setelah kukonfirmasi ulang, Bu Warjo pun tak mengingat kapan nama itu mulai familiar. Ungkapnya, ketika aku dan kawan-kawanku datang ke Warjo lah sebutan itu mulai terdengar dan akhirnya jadi nama resmi untuk warung tersebut. Sampai tahun 2023, Warjo sudah beberapa kali pindah tempat. Sekarang, Warjo berada di Cilolohan, Jalan Siliwangi, Kahuripan, Kec. Tawang Kota Tasikmalaya. Menu andalannya kini adalah Ayam Geprek dan Ayam penyet. Rasanya Juara.

Bagi siapa pun yang kini telah akrab betul dengan Warjo, kuyakin pasti pernah mengalami masa di mana Warjo adalah penyelamat hidup mereka, Bu Warjo adalah Ibu kedua mahasiswa rantau di Tasikmalaya. berkat Warjo, napas mahasiswa di esok hari masih tetap terjaga. Untuk kisah-kisah lain yang setidaknya berhubungan dengan Warjo, kuceritakan kembali lain waktu, ya.