Di penghujung The Plague, Albert Camus lewat naratornya mengatakan “bahwa pada diri manusia terdapat lebih banyak sifat yang dapat dikagumi daripada dibenci.” Kalimat yang justru disampaikan ketika wabah belum benar-benar berakhir. Wabah itu hanya surut dan bisa kembali kapan saja. Kalimat tersebut bukanlah semacam pernyataan optimisme utopis, tapi lebih merupakan semacam pengakuan jujur tentang kenyataan: bahwa dalam dunia yang absurd dan seringkali kejam, masih ada manusia yang memilih untuk bertahan sebagai manusia. Dan dari sanalah harapan satu-satunya berasal.
The Plague (dalam bahasa Prancis: La Peste) adalah novel yang diberi judul berbeda dalam terjemahan bahasa indonesia: ada yang menamakannya Wabah, ada pula yang memakai nama penyakitnya langsung: Sampar. Apa pun judulnya, kita sedang membicarakan novel yang sama—sebuah kisah yang, meski ditulis pasca-Perang Dunia II, tetap terasa relevan hingga hari ini. Sebab Camus sendiri tidak menulis tentang wabah pes sebatas virus yang menulari manusia, melainkan wabah sebagai metafora dari absurditas hidup manusia: sesuatu yang datang tiba-tiba, merusak banyak hal, tidak mampu dijelaskan secara tuntas, dan tak bisa sepenuhnya dihindari.
Saya mau menegaskan bahwa wabah, dalam pengertian esai ini, tidak hanya berarti penyakit (virus). Ia bisa berupa perang, krisis iklim, bencana kelaparan, politik korup, polarisasi sosial, atau perusakan lingkungan yang membabi buta. Bahkan, kegelisahan kolektif akibat arus informasi yang begitu deras menghanyutkan kita di media sosial juga bisa menjadi bentuk sampar kontemporer. Semuanya merupakan kondisi yang menggerogoti nalar, merusak tatanan hidup, dan membuat manusia kehilangan pegangan. Maka bisa kita lihat, Camus tidak sedang menggambarkan penyakit secara klinis, tetapi situasi eksistensial di mana manusia merasa terasing dan tidak berdaya, namun tetap harus memilih untuk bertahan hidup.
Salah satu kekuatan dari novel ini terletak di keberagaman respon dari tokoh-tokohnya ketika dihadapkan pada situasi absurd. Pendeta Paneloux awalnya mengatakan bahwa wabah yang menimpa mereka adalah hukuman dari Tuhan, ia lalu berubah sikap setelah menyaksikan anak kecil meninggal dengan cara yang mengerikan. Perubahan cara pandang Paneloux mencerminkan kegamangan iman ketika kenyataan tak selaras dengan dogma.
Ada pula tokoh lainnya seperti Tarrou yang memaknai bahwa “sampar” sesungguhnya sudah ada dalam diri manusia, dalam kebisuan kita terhadap perilaku kekerasan yang dianggap wajar. Tarrou adalah semacam cermin yang memantulkan kepada pembaca bahwa kita semua punya andil terhadap absurditas yang ada. Kemudian Grand, pegawai kecil yang di sepanjang cerita hanya berjuang menyusun kalimat pembuka untuk novelnya—sautu bentuk resistensi kecil tapi bermakna terhadap kekacauan dunia. Grand mewakili kita yang hanya punya “hal kecil” untuk dilakukan, tapi tetap melakukannya dengan penuh ketekunan.
Selanjutnya yang paling saya suka adalah dr. Rieux, tokoh yang paling logis di antara semuanya, ia tetap menjaga kewarasan di tengah kondisi yang amat tidak menentu, sebagai dokter ia tetap memilih merawat pasien dan memperhatikan jumlah kenaikan atau penurunan angka kematian, hal tersebut dilakukan bukan karena pandangan optimistik bahwa sampar akan segera usai, tetapi karena itu adalah satu-satunya hal yang bisa ia lakukan untuk tetap waras dan manusiawi.
Dari semua tokoh, saya rasa sikap Rieux adalah yang paling menggugah. Di tengah absurditas, ia tidak mencari penghiburan metafisik, tidak bersembunyi di balik ideologi, dan tidak mencari musuh imajiner untuk disalahkan. Ia hanya memilih untuk melakukan sesuatu yang paling bisa ia lakukan, konkret, dan bermakna: merawat orang-orang sakit. Ia mengerti bahwa usahanya tidak akan menyelamatkan banyak orang. Ia tahu wabah bisa datang kapan saja. Tetapi itu semua tidak mengehentikannya—sama sekali tidak menghentikannya menjadi manusia.
Kita hidup di era pasca corona, tetapi bukan berarti kita telah terbebas dari wabah. Keabsurdan terus bertambah dan berubah wujudnya. Dunia makin gaduh, orang makin reaktif, kebencian terus menyebar di kolom komentar, kesadaran akan lingkungan kian menipis, peraturan perundang-undangan berubah-ubah sesuai kepentingan segelintir orang, keadaan terus membawa kita beralih dari satu krisis ke krisis lain.
Namun lewat The Plague, Camus mewariskan kepada kita ingatan penting: di setiap keterpurukan yang kita alami, akan selalu ada pilihan yang masih bisa kita ambil. Pilihan untuk tidak ikut panik, tidak ikut menyebar kebencian, tidak ikut menyederhanakan persoalan. Pilihan untuk tetap rasional, tetap manusiawi, tetap berbuat baik, tetap menyuarakan kebenaran. Dan pilihan-pilihan kecil itulah yang menjadi satu-satunya bentuk perlawanan yang mungkin bisa kita lakukan di tengah kondisi yang serba absurd.
Barangkali hal inilah yang membuat The Plague tetap menggema dan dibaca banyak orang. Camus tidak hanya bercerita soal kemenangan manusia melawan wabah pes, melainkan kisah tentang keteguhan hati manusia untuk tetap mempertahankan sisi kemanusiaannya, bahkan ketika dunia bertindak tak masuk akal. Camus tak menuliskan akhir bahagia, ia menuliskan kemungkinan. Dan selama kita sadar dan masih memilih untuk peduli, berarti wabah-wabah ataupun absurditas tak akan pernah sepenuhnya menang.
Bima Yuswa. Lahir di Bogor, dan sekarang berdomisili di Bandar Lampung. Penulis bisa disapa lewat akun instagramnya @raksebelahkiri. Salah satu puisinya terpilih dalam ajang Payakumbuh Poetry Festival (2024). Beberapa puisinya yang lain tersiar di Tempo, Kompas, Sastra Media, dan media lainnya.