Siksa Kubur; Paham Materialisme dan Kebencian Manusia terhadap Ketidakpastian

23/04/2024

Eckhart Tolle, seorang guru spiritual dan penulis buku yang merupakan warga Kanada yang cukup berpengaruh di Amerika Serikat. Pada 2008, bahkan, The New York Times menyebut Tolle "penulis spiritual paling populer di Amerika Serikat". Pada 2011, ia terdaftar oleh Watkins Review sebagai orang yang paling berpengaruh secara spiritual di dunia. Tolle tidak diidentikkan dengan agama tertentu, tetapi ia telah dipengaruhi oleh berbagai karya spiritual.

Suatu kali, Tolle pernah membuat pernyataan yang berbunyi “Jika ketidakpastian tidak dapat Anda terima, hal itu berubah menjadi ketakutan”.

Dalam kenyataannya, kita sebagai manusia memang terus menerus dibombardir dengan ketidakpastian sepanjang hidup dan menyelesaikan ketidakpastian ini adalah motif utama dalam kehidupan masyarakat ( Kagan, 1972 ). Dalam proses menyelesaikan ketidakpastian tersebut, manusia berusaha mengidentifikasi hubungan antara isyarat lingkungan dan hasil selanjutnya ( Paduan & Tabachnik, 1984 ). Identifikasi kemungkinan-kemungkinan tersebut dapat memberikan individu keyakinan tentang masa depan dan mendorong pencapaian hasil yang diinginkan.

Identifikasi kemungkinan-kemungkinan tersebut tentu paling mudah adalah dengan menggunakan indra-indra yang dimiliki oleh manusia. Hal inilah yang melatarbelakangi lahirnya filsafat materialisme. Materialisme merupakan suatu aliran yang menganggap kebutuhan materi di atas kebutuhan spiritual, ideologi, sosial, budaya, dan agama. Paham materialisme yang berkembang pesat khususnya di barat pada dasarnya bukanlah aliran baru, atau hasil dari zaman modern, namun paham ini sudah ada sejak zaman filsafat Yunani kuno. 

Kemudian, muncul pertanyaan menggelitik tentang bagaimana menjawab konsep ketidakpastian yang berhubungan dengan sistem religiusitas atau kepercayaan dengan menggunakan indra-indra manusia yang memerlukan jawaban bersifat nyata atau kebendaan.

Saya yakin, pergumulan atas pertanyaan ini sebenarnya banyak berkecamuk di kalangan penganut kepercayaan atau agama. Contoh paling sederhana, misalnya, adakah siksa kubur selepas kematian?

Premis kokoh itulah yang coba ditawarkan dalam film terbaru karya Joko Anwar berjudul “Siksa Kubur” yang tayang pada 11 April 2024 kemarin, tepat sehari setelah lebaran.

Joko Anwar yang sudah banyak menulis naskah dan menyutradarai beberapa film kenamaan Indonesia memang selalu kembali dengan karya-karya yang kerap mengundang diskusi berkepanjangan dari para penikmat film, termasuk ketika film Siksa Kubur ini dirilis.

Menceritakan seorang tokoh bernama Sita yang masa kecilnya seketika hancur ketika harus menyaksikan secara langsung kedua orang tuanya tewas setelah menjadi korban ledakan bom bunuh diri dari seseorang yang membawa rekaman yang dipercaya sebagai rekaman dari orang yang mendapat siksa kubur. Sejak itu, Sita dan sang Kakak, Adil, berusaha untuk tak lagi percaya terhadap agama dan ingin membuktikan bahwa siksa kubur atau kehidupan setelah kematian hanyalah takhayul agama yang dipercayai banyak orang sehingga membuat orang-orang justru menjadi jahat. Di situlah letak ketidakpastian yang diterima oleh Sita terus berkecamuk, keinginannya membuktikan ketidakpastian dari alam siksa kubur yang gaib menggunakan indra-indra yang dimilikinya. Sejak saat kematian orang tuanya pula, Sita tumbuh menjadi manusia yang materialistis, memutuskan memercayai sesuatu ketika ia melihat secara langsung objek tersebut. Sedangkan, siksa kubur, dan atribut-atribut kepercayaan yang didasari pada agama, tak memerlukan mata untuk dipercayai, kita hanya cukup percaya. Sesuai dengan salah satu dialog dalam film tersebut.

Lalu, seperti yang kita kenal, film-film karya Joko Anwar, khusunya film horor dan thrillernya, terasa selalu memiliki satu benang merah yang pada satu titik di masa depan nanti, akan menjadi sebuah dunia yang amat kacau dan porak-poranda. Misal, sejak film horor psikologi pertamanya, yakni berjudul “Kala”, elemen-elemen kunci dari film tersebut masih bisa kita dapati dan menjadi easter egg dalam film-film Joko selanjutnya, seperti Pintu Terlarang, Modus Anomali, Pengabdi Setan, Perempuan Tanah Jahanam, Pengabdi Setan 2, hingga terbaru Siksa Kubur. Entah Joko hanya iseng mengusili para penontonnya, atau justru Joko punya semesta imajinya sendiri yang berusaha untuk terus dibangun.

Benar apabila bagi banyak orang yang sudah menonton film ini, akan keluar dari studio bioskop dengan banyak pertanyaan dari film ini yang justru masih tayang di dalam kepala. Apa yang sebenarnya terjadi kepada karakter Sita? Apakah semua yang terjadi sepanjang film hanya berada dalam satu alur maju? Apakah Sita sebenarnya mati selepas masuk ke dalam liang lahat bersama seorang yang dianggapnya sebagai orang terjahat yang ia kenal? Apakah teror-teror yang terjadi justru adalah jawaban atas pertanyaan ketidakpastian yang seumur hidup berusaha dia cari jawabannya?

Sebenarnya, inilah letak kecerdasan seorang Joko Anwar yang mengemas film Siksa Kubur menjadi sebuah film yang relevan bagi tiap penontonnya. Kemudian muncul pertanyaan, bukannya film yang baik adalah film yang tuntas tanpa menimbulkan banyak pertanyaan? Tapi, bagaimana jika film yang membekas adalah film yang banyak dibicarakan setelah para penontonnya keluar dari bioskop dan menjadi obrolan hangat di lingkup-lingkup terkecil keseharian masyarakat (dalam konteks relevan dengan keadaan masyarakat)? Bukankah jelas bahwa film tersebut berhasil menjadi refleksi dari kehidupan masyarakat tanpa tendensi menggurui?

Apalagi, premis yang diangkat dalam film ini adalah sebuah tema sensitif yang tentu berisiko bagi karir seorang Joko Anwar. Untungnya, film ini justru berhasil menjadi diri kita masing-masing, berusaha merekonstruksi ulang rasa believe kita sebagai seorang penganut agama (dalam film ini Islam) dan mendobrak rasa penasaran serta skeptisme manusia terhadap hal-hal yang berada di luar jangkauan indrawi. Sebab melihat tak perlu menggunakan mata, kita hanya perlu percaya.

Sampai hari penayangan ke-7, film siksa kubur telah disaksikan oleh dua juta lebih penonton. Lama-laman media sosial Instagram dan X banyak berseliweran teori-teori tentang film Siksa Kubur. Penonton terbelah menjadi penonton yang percaya bahwa Sita telah mati dan mendapati siksa kuburnya sendiri sesaat ketika ia ikut ke dalam liang lahat dari jasad wahyu, dan penonton yang percaya bahwa sampai di akhir film, Sita masih tetap hidup dan mengalami teror-teror secara nyata di dunia. Ini tentu merupakan suasana yang sehat bagi perfilman Indonesia. Kita tak lagi sekadar dicekoki doktrin dan dogma baik buruk dari sebuah film, namun kita secara penuh dan sadar, diberi keleluasaan untuk menafsir sendiri jawaban apa yang kita butuhkan dari premis film ini, tengah berada di manakah posisi kita selepas menyaksikan film ini. Semoga, di kemudian hari, semakin banyak film-film yang memberi tawaran baru dan alternatif tontonan, sehingga selain banyak meraup penonton, film juga punya sumbangsih bagi bertahan dan berkembangnya kebudayaan masyarakat, tanpa embel-embel mendidik dan menggurui.

 Agus Salim Maolana