Perihal Ambiguitas pada Puisi

16/06/2025

 

“Jika sistem bahasa umum melakukan fiksasi makna atau membuat makna bahasa sedemikian pasti sehingga ambiguitas dapat dihindari sejauh mungkin, bahasa puisi justru merangsang ambiguitas seluas mungkin.”
-    Jamal D. Rahman

Pernyataan Jamal D. Rahman ini saya temukan dalam sebuah esai “Paus Merah Jambu Zen Hae: Puisi di Luar dan di Dalam Sistem Bahasa”. Dan sejak itu, ia tinggal di kepala saya. Sebab benar adanya, bahwa ketika bahasa sehari-hari cenderung menuntut kepastian, justru puisi bergerak ke arah sebaliknya: membuka keraguan, membelah makna, dan mengendapkan banyak kemungkinan.

Dalam Kamus Besar Bahsa Indonesia, ambiguitas diartikan sebagai kemungkinan munculnya lebih dari satu makna atau penafsiran dalam sebuah karya sastra. Di sanalah letak daya hidup puisi—pada kelonggaran makna yang membiarkan pembaca terus menafsir tanpa pernah merasa selesai.

Saya sering mengerutkan dahi ketika membaca sebuah tulisan yang disusun bait per bait seperti puisi pada umunya, tapi isinya penuh makna denotatif. Bahkan terkadang penulisnya menyebutkan secara lantang bahwa itu adalah puisi, lalu tiba-tiba membuka kelas kepenulisan puisi. Bukan berarti puisi harus selalu sulit atau rumit, tapi ketika tak ada ruang tafsir, puisi kehilangan hakikatnya. 

Dahulu waktu awal-awal belajar soal puisi, saya dikenalkan pada dua jenis puisi. Yang pertama puisi diafan, kemudian yang kedua puisi prismatik. Sederhananya puisi diafan adalah puisi yang kurang mengoptimalkan pengimajian, kata konkret, dan tentunya bahasa figuratif (majas), sehingga puisinya cenderung berisi curhatan, omelan, ataupun seolah mengkhotbahi pembaca.

Sedangkan puisi prismatis adalah puisi yang memiliki beragam pemaknaan yang dapat ditelusuri oleh pembaca (multi tafsir). Ciri utama dari puisi prismatis, larik-larik atau bait-baitnya mengandung majas sehingga ketika melakukan pembacaan setidaknya perlu, mengurai majas tersebut untuk memperoleh maknanya.

William Empson, dalam Seven Types of Ambiguity, menyebut bahwa “kerja-kerja ambiguitas berada di akar terdalam puisi.” Maka ketika puisi kehilangan ambiguitas, ia tak lebih dari catatan harian berima.

Ambiguitas dalam puisi tidak muncul dari kata-kata biasa, melainkan dari permainan majas terutama metafora. Di samping itu ada juga personifikasi, simile, hiperbola, dan majas lainnya. Tanpa itu, puisi jadi curhatan yang habis sekali baca, bukan perenungan yang memberikan ruang tafsir.

Lihat saja puisi Sapardi “Aku Ingin” yang dihimpun dalam kumpulan puisi “Hujan Bulan Juni”. Puisi tersebut menjadi menarik karena ia tidak berhenti pada konsep abstrak “… mencintaimu dengan sederhana”, Sapardi membuat konsep “cinta sederhana” yang semula abstrak menjadi lebih konkret. 

aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Lewat penggambaran pristiwa api membakar kayu dan menjadikannya abu. Konsep “cinta sederhana” menjadi sebuah pengalaman yang bisa dirasakan (diimajikan lewat indra manusia) oleh pembaca. Larik “… mencintaimu dengan sederhana” tak lagi menjadi konsep yang abstrak setelah dikenai metafora.

Ambiguitas muncul di sana sebagai implikasi dari peristiwa yang dihadirkan Sapardi. Setiap orang akan memaknai beragam tentang apa maksud dari “kata yang tak sempat / diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu”.

Coba perhatikan di bawah ini saya tuliskan contoh bait dari puisi denotatif.

Aku terus saja mengingatmu
Terutama saat malam sepi.
Perasaan yang aneh.
Ragamu dan aku berjauhan, namun
Dirimu sering singgah di pikiranku

Bisa kita rasakan larik-larinya begitu kering. Kita sebagai pembaca sukar untuk turut merasakan kerinduan yang dialami penulis. Bisa kita lihat juga penulisnya tidak menyedikan ruang untuk penafsiran, sebab seluruh lariknya berisi kalimat denotatif. Puisi yang ditulis seperi ini habis sekali baca (mudah untuk dilupakan). Sangat jauh berbeda dengan puisi Sapardi yang kita sebutkan di awal tadi. Bahkan ketika beliau sudah meninggal (al-fatihan untuk beliau) puisinya masih saja menggema dan tentunya diingat.

Barangkali nanti akan ada yang berucap, “Nulis puisi mah nulis aja ngapain ribet-ribet, ini seni bos bebas!”, ya monggo. Terkadang ada orang menulis untuk iseng-iseng mencurahkan hati ya sah-sah saja. 

Cuma saya kok sedih, semisal puisi hanya dipandang sebagai karya sastra yang iseng-iseng, tanpa peduli bagaimana puisi yang baik seharusnya ditulis. Lalu orang-orang yang iseng itu tiba-tiba membuka kelas kepenulisan puisi, kan kalau begini repot.

Kembali lagi pada ambiguitas, puisi yang baik tentu punya sisi ambiguitas di dalamnya. Ambiguitas dicapai lewat permainan majas. Di awal belajar menulis puisi, saya rajin berselancar di internet untuk menelusuri jenis-jenis majas yang terkandung dalam puisi. Sekarang pun saya masih terus belajar.

Pesan saya untuk teman-teman yang menulis puisi bahkan mencintai puisi, jangan pernah berhenti untuk terus belajar. Jangan terburu-buru puas dengan puisi yang sesak dengan makna denotatif, meskipu ketika di-share ke sosial media tulisan tersebut mendapat banyak like atau komentar yang memuji-muji tulisan anda.

Jangan dulu terlena, kita setidaknya perlu curiga apakah orang yang memuji-muji itu benar-benar paham soal puisi? 

Di awal menulis puisi, saya kerap ragu tentang apa yang saya tulis ini puisi atau bukan. Cara terbaik untuk mengujinya adalah mengirimkan puisi-puisi tersebut ke media yang ada rubrik puisinya, banyak yang ditolak dan tidak sedikit juga yang akhirnya lolos dan sampai di hadapan pembaca.

Esai ini akan saya tutup dengan sebuah pertanyaan, bukankah ketika mencintai seseorang kita selalu ingin tau segala hal tentang orang itu? Saya rasa begitulah seharusnya sikap seseorang yang mencintai puisi. Ia selalu ingin tau, penasaran, dan berdebar-debar ketika membaca atau menulis puisi.

Referensi:
•    Jamal D. Rahman, Paus Merah Jambu Zen Hai, blog pribadi, 2008.
•    KBBI Daring, entri “ambiguitas”, kbbi.web.id.
•    Tempo.co, Puisi Diafan: Pengertian, Contoh, dan Perbedaannya dengan Puisi Prismatis, 2023.
•    Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni, Grasindo, 1994.

 

Bima Yuswa. Lahir di Bogor, dan sekarang berdomisili di Bandar Lampung, bisa disapa lewat akun instagramnnya @raksebelahkiri. Beberapa puisinya tersiar di Tempo, Kompas,
Sastra Media, dan media lainnya.