Bea Cukai Tengah Mencederai Prinsip-Prinsip Dasar dari Marwah Masa Lalu

29/04/2024

Di dalam peradaban silam, bangsa-bangsa lain di luar Nusantara telah mengamati posisi Indonesia (sekarang) sebagai area dan jalur strategis dalam bidang perniagaan. Hal itu disebabkan oleh letak geografis Indonesia yang berada di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik serta berada di antara Benua Asia dan Benua Australia. Alasan tersebut diperkuat oleh fakta bahwa nusantara memiliki 70 persen wilayah perairan dan 30 persen daratan, yang artinya wilayah perairan lebih mendominasi dibanding wilayah daratan.

Selain itu, ketersediaan bahan rempah dan sumber daya yang melimpah di wilayah nusantara membuat bangsa India dan Tiongkok akhirnya berbondong-bondong melakukan aktivitas perniagaan di nusantara. Semenjak itu, aktivitas kerja sama antara bangsa luar dengan kerajaan-kerajaan di nusantara yang sebelumnya telah berdiri mulai terjadi, termasuk bagi kerajaan-kerajaan maritim. Bagi kerajaan-kerajaan maritim Indonesia, pelabuhan merupakan pintu gerbang barang impor dan ekspor, di mana arus barang dapat diawasi dan dikenakan bea seperlunya. Pada masa kejayaan selat Malaka di era kerajaan Islam, Bea Cukai berperan aktif dalam perdagangan internasional. Begitu kapal memasuki pelabuhan, segera syahbandar datang menghampirinya. Tugas utama seorang syahbandar adalah mengurus dan mengawasi perdagangan orang-orang yang dibawahinya, termasuk pengawasan di pasar dan di gudang. Ia harus mengawasi timbangan, ukuran dagangan, dan mata uang yang dipertukarkan. Syahbandar memberi petunjuk dan nasihat tentang cara-cara berdagang setempat, ia pula menaksir barang dagangan yang dibawa dan menentukan pajak yang harus dipenuhi. Para Syahbandar tersebut dikepalai oleh seorang pejabat Tumenggung, yang dalam urusan dagang kedudukannya sangat penting karena ialah yang harus menerima bea masuk dan bea keluar dari barang yang diperdagangkan.

Jauh setelah itu, ketika Hindia Belanda mulai mencium kesempatan besar dan akhirnya menduduki wilayah Indonesia, aturan Bea dan Cukai pertama kali mulai dilembagakan dengan nama resmi De Dienst der Invoer en Uitvoerrechten en Accijnzen (I. U & A) atau dalam terjemah bebasnya berarti “Jawatan Bea Impor dan Ekspor serta Cukai”. Tugasnya adalah memungut invoer-rechten (bea impor/masuk), uitvoererechten (bea ekspor/keluar), dan accijnzen (excise/ cukai). Tugas memungut bea (“bea” berasal dari bahasa Sangsekerta), baik impor maupun ekspor, serta cukai (berasal dari bahasa India) inilah yang kemudian memunculkan istilah Bea dan Cukai di Indonesia. pemungutan cukai pertama yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda di Indonesia dimulai pada tahun 1886 terhadap minyak tanah berdasarkan Ordonnantie van 27 Desember 1886, Stbl. 1886 Nomor 249. Selanjutnya pungutan cukai lainnya diberlakukan terhadap komoditi tertentu lainnya, seperti alkohol sulingan, bir, tembakau, dan gula.

Pasca Indonesia merdeka dan resmi menjadi sebuah negara, pemerintahan pertama ketika itu membentuk lembaga Bea Cukai pada tanggal 01 Oktober 1945 dengan nama Penjabatan Bea dan Cukai, yang kemudian pada tahun 1948 berubah menjadi Jawatan Bea dan Cukai sampai tahun 1965 walaupun masih mengadopsi warisan aturan Hindia Belanda. Setelah tahun 1965 menjadi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yang merupakan unit eselon I di bawah Departemen Keuangan, yang dipimpin oleh seorang Direktur Jenderal, setidaknya sampai tahun 1995 sebelum akhirnya pemberlakuan ordonansi cukai produk kolonial Belanda pasca kemerdekaan bangsa Indonesia resmi dihentikan karena memiliki banyak kekurangan dan tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat Pancasila dan UUD 1945.

Berkaitan dengan tuntutan pembangunan dan semangat Pancasila, diperlukan suatu peraturan perundang-undangan tentang cukai yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dalam rangka menggantikan produk-produk hukum kolonial Belanda yang sudah tidak relevan lagi digunakan. Untuk itulah segala upaya dan pemikiran dikerahkan oleh pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk menyusun suatu Undang-undang tentang cukai yang sesuai dengan perkembangan jaman dan sesuai dengan jiwa dan semangat UUD 1945. Sejak tanggal 1 April 1996 Undang-undang nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai resmi diberlakukan menggantikan kelima ordonansi cukai lama. Dalam Undang-undang tersebut diatur suatu ketentuan baru tentang cukai yang terintegrasi dan mengatur hal-hal baru yang sebelumnya belum pernah ada, antara lain: ketentuan sanksi administrasi, lembaga banding, audit di bidang cukai, penyidikan, pengawasan fisik dan administratif, serta kemungkinan untuk memperluas obyek cukai. Materi Undang-undang Nomor 11 tahun 1995 selain bertujuan membina dan mengatur juga memperhatikan prinsip-prinsip keadilan dan keseimbangan.

Jika berkaca pada apa yang tengah ramai hari ini, polemik dan kontroversi Bea Cukai yang terjadi tentu disikapi oleh banyak masyarakat sebagai hal yang justru bertentangan dengan semangat dari prinsip-prinsip keadilan dan keseimbangan yang menjadi landasan dari berjalannya lembaga Bea dan Cukai di Indonesia. Dalam menjalankan tugas dan fungsi untuk mengawasi masuknya barang impor melalui terminal kedatangan internasional untuk barang bawaan penumpang, dalam hal ini berkaitan dengan lalu lintas barang yang keluar dan masuk ke dalam negeri atau ekspor impor, Otoritas Bea dan Cukai dianggap terlalu berlebihan dalam mengenakan tarif.

Tak ingin terus dipojokkan oleh masyarakat, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengaku sudah meminta pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) untuk terus memperbaiki layanan dan mendengarkan keluhan masyarakat yang menjadi sorotan publik akhir-akhir ini. Beliau juga menegaskan bahwa dirinya telah menginstruksikan kepada jajaran dan pejabatnya agar selalu sigap dalam berkoordinasi dengan pihak terkait aturan keluar masuknya barang dari dan ke luar negeri.

Apa yang terjadi belakangan ini sebenarnya menunjukkan salah satu hal paling penting yang sebenarnya menjadi dasar bagi terciptanya hubungan baik dalam bernegara, yakni ketidakmampuan lembaga-lembaga negara dalam menjelaskan serta mengartikulasikan segala bentuk aturan yang berlaku terhadap warganya, yang berakhir pada cara penyikapan masyarakat terhadap penyelenggara negara. Bahkan, tak sedikit dari masyarakat yang menyebut bahwa sebenarnya, masyarakat tengah terus menerus dirampok oleh negara, entah itu dari pungutan pajak yang saban periode terus mengalami kenaikan, sementara proses penegakkan hukum bagi penyeleweng pajak semakin tak transparan atau berkaca dari praktik-praktik korupsi yang mengemplang dana. Semoga saja adalah hal yang salah, bahwasanya negara sedang benar-benar merampok warganya.

 

Agus Salim Maolana