Perempuan yang Melipat Rindu Menjadi Bulan

23/01/2025

 

Menjelang hari itu tiba, biarkan aku menulis kembali. Lagi dan lagi rasa sakit yang menenggelamkan aku pada kesedihan, biar semua orang lupa akan itu. Dunia boleh terus menjalankan waktu tanpa pernah berhenti, tanpa pernah kembali. Tapi, aku akan selalu mengenang dirimu dalam keikhlasan. Selamanya.

Tepat hari ini, dunia kedatangan seorang lelaki yang luar biasa. Dia anak yang sangat baik, senyumnya begitu menenangkan, genggaman tangannya selalu memberikan petanda, bahwa dalam hidup ini, aku tidak akan pernah kehilangannya, dan dia tidak akan pernah meninggalkanku. Sampai pada kenyataan aku sadar bahwa manusia itu akan berakhir dengan pergi, bahwa aku akan menjadi bagian dari perjalanan hidupnya sampai akhir. Akhir yang tak pernah aku inginkan sebagai manusia yang egois. 

Cinta yang tertanam pada seorang gadis kecil selalu tumbuh dan mekar, tapi bunga itu layu dalam semalam, dan akarnya tak pernah tercabut, terus menjalar dan menggerayangi hatinya yang rapuh. Apa hidup sebagai manusia akan jadi seperti ini? Begitu pikirnya dulu.

Tapi kini, dalam perjalanan waktu yang bagimu telah berhenti, aku masih mengingau bahwa dunia akan berbaik hati padaku, membawamu kembali sebagai anak kecil yang dicambuk ego pengasuhnya, kita kembali berbagi luka, bersembunyi di balik ruangan pengap, walau kicauan terdengar berisik sekali di luar sana, kamu akan selalu menatap mataku dan memantulkan ketenangan. Tapi kini di perjalanan yang tak ada lagi dirimu di sampingku, aku akhirnya menyadari bahwa kau telah begitu lelah.

Setiap kali aku bertanya-tanya, bagaimana caranya manusia bisa hidup dengan tawa, setelah mereka menyaksikan kehilangan, sampai aku merasakannya sendiri, karenamu aku belajar mengenai ikhlas, aku belajar rela. Tapi sialnya, aku tidak belajar untuk berhenti merindukanmu, kenapa orang lain tidak bilang jika merindukan seseorang akan jadi sesakit ini?

Nenek kita, masih bertahan sampai hari ini, walaupun belasan tahun sejak kepergianmu. Kerap kali dalam masa-masa menyakitkan dalam kerinduan akan dirimu, dia datang bertamu hanya sekedar berbagi cerita denganku, katanya aku cukup kuat untuk berbagi rindu pada kematian yang nyata, sedang ia tak cukup menyapa pada anaknya yang hidup tapi berada dalam rantau yang jauh di sana.

“Anakku semuanya pergi merantau, hingga kini mereka hanya melihatku sesekali, dua anakku masih hidup, tapi aku tak merasa jiwaku masih hidup, kadang aku meragukan kerinduanku sendiri, entah apa yang mati kini, aku atau masa-masa ketika aku menjadi ibu mereka, entahlah, Nak. Kini aku hanya orang tua.”

Kulihat kesedihan yang terekam dengan baik di mata nenek yang sudah sakit-sakitan itu. Walaupun usia sudah merenggut kemudaannya, ia masih senang berkeliling dan menyapa tetangga hanya untuk sekadar basa-basi, apalagi padaku yang masih merasa kehilangan. Aku bersyukur ia tak pernah menertawakan kesedihanku.

“Aku masih bersedih, Nek.”

“Tak apa.”
“Nek, apa kau kadang tak merasa Tuhan jahat padamu?” Kulihat ia tertawa sambil menutup mulutnya, tangan itu bahkan tak sanggup lagi mengudara lebih lama.

“Jika Tuhan jahat padaku, aku tak akan tertawa bersamamu hari ini.” Kutatap ia begitu lama, aku tak mengerti, apa yang berusaha ia sampaikan? Melihat keterdiamanku, kembali ia lanjutkan ucapannya.

“Dalam hatiku ini penuh dengan luapan yang kusimpan puluhan tahun, ada begitu banyak penyesalan jika kau ingin tahu. Tapi, Tuhan panjangkan umurku bukan untuk menyesali pilihan hidupku.” Kudengarkan ia dengan baik, linangan air mata tampak dari matanya yang sayu.

“Nak, besok atau lusa mungkin aku bisa saja mati, bahkan sepuluh menit ke depan. Kapan saja Tuhan bisa menjemputku. Orang-orang hanya akan mengabari kedua anakku. Mereka bersedih dan terus melanjutkan hidup. Perlahan semua orang melupakanku. Jadi, untuk apa aku menyesali segalanya? Hidup kita bukan percobaan, yang jika tak menarik kita bisa mengambil kesempatan lain kan?” Kini kesedihan nenek tua ini menyebar kepadaku, mendadak aku harap ia berumur panjang dan menemaniku setiap saat di sini.

“Kau boleh merindukannya, setahun lagi, seratus tahun atau bahkan seumur hidupmu. Tapi jangan pernah pertanyakan Tuhan perihal kehilanganmu.”

Tak kuasa aku menahan tangis, kupeluk nenek, entah berapa kali ia merasakan kehilangan dalam hidupnya, selama apa ia menanggung rindu, kepada siapa ia mengadu? Akankah ribuan kata dalam kepalanya ia adukan pada Tuhan saja? Seorang ibu, istri, yang tak pernah merenggut dan menyobek takdir Tuhan, ia hanya akan menerima dan menelannya sendirian sebagai sebuah lautan yang menghanyutkan.

“Hiduplah lebih lama, Nek!” pelukannya semakin erat di tubuhku, seperti ia akhirnya merasakan bahwa ia diinginkan, seperti ia merasakan akhirnya seseorang membutuhkan kehadirannya, seseorang akan merindukannya.

“Rindukan aku juga seperti ini, ketika aku pergi nanti, ya?” Aku tak pernah ingin merindukan siapa-siapa karena itu menyakitkan. Aku hanya ingin mereka tetap bersamaku dan tak membiarkanku merindukan siapa pun.

Dua minggu setelah percakapan hangat kami, nenek benar-benar membiarkanku merindukannya. Yang kulakukan hanya duduk di depan tubuhnya yang sudah begitu rentan, dan kaku, kusentuh tangan yang sudah kasar dan keriput itu, kubisikkan di telinganya, sebuah perkataan yang kuharap Tuhan masih biarkan nenek mendengarnya.

“Aku akan merindukanmu, tidak hanya puluhan tahun hidupku, tapi selamanya.” 

Kurasa mungkin hanya itu yang ingin ia dengar, selama ia hidup ia hanya merindukan anak anaknya, suaminya yang telah lama pergi, betapa tersiksanya ia karena rindu yang tak tersampaikan. Kenapa rindu tak pernah masuk dalam bagian senjata tajam yang bisa menggerogoti tubuh manusia secara perlahan? Dan apa kali ini rindu juga akan membunuhku? Sudah tak mampu rasanya aku menangis, aku hanya ingin pulang dan meraung sendirian. Kali ini tak akan kupertanyakan Tuhan lagi perihal berpulangnya nenek. Kematian itu pasti, yang kusesali hanyalah kehilangannya.

Saat kesadaranku tak sepenuhnya kembali, seorang pria yang berusia lima puluh tahunan menyapaku, aku tahu pria dewasa itu adalah anak nenek. Seseorang yang nenek rindukan. Ia mengajakku untuk sedikit berbincang. Kulihat matanya bengkak dan kemerahan, seperti yang nenek katakan, anak mereka akan bersedih, dan mereka akan melupakannya seperti saat nenek masih hidup.

“Terima kasih sudah menjaga ibu saya.”

“Saya tidak menjaganya, ia menjaga dirinya sendiri.” Pria dewasa itu tampak kesal dengan jawabanku.

“Tetangga memberi tahu saya bahwa ibu sering berbicara denganmu.”

“Dia hanya butuh seseorang untuk diajak berbicara, kebetulan saya juga butuh seseorang untuk berbagi kesedihan saya.”

“Apa yang ibu saya ceritakan?”

“Dia berkata, bahwa ia sama sekali tidak pernah menyesal menjadi ibumu, bahkan ketika kau mendengar kabar kematiannya, bersedih lalu melupakannya. Dia tak pernah menyesali hidupnya, dia hidup hanya untuk bersyukur kepada Tuhan karena masih dibiarkan tertawa di ujung kematiannya, bahkan jika itu berarti ia menyimpan siksaan akan rindu sendirian.”

Tak peduli jika semua orang menatap heran padaku, karena setelah aku mengatakan hal itu, pria dewasa di depanku kini menangis semakin gila. Ia bahkan jatuh dari kursi dan terduduk, meraung dan menyebut-menyebut nama nenek di tengah raungannya. Apakah nenek melihat ini sekarang? Apa yang dipikirkan nenek saat ini? 

Manusia memang seperti itu kurasa, dalam hidup yang tak pernah berulang ini, kita kerap kali mengabaikan hal-hal sederhana hanya untuk mengisi kesempurnaan diri, saat-saat  kita lupa bahwa hidup selalu berteman baik dengan mati. Namun, ketika kematian datang, semua kembali pada kesadaran, dan mulai berkata, 

“Oh selandainya, kau hidup lebih lama”

“Andai saja aku ada di sana” 

“Ini salah saya, tolong kembali, maafkan saya”

Semuanya terlihat biasa saja, semua seperti angin yang berhembus dan lenyap seketika, tangisan kita mengantarkan tubuh itu dan membiarkan mereka dipeluk bumi, lalu kita hanya bisa memeluk setumpuk tanah yang bukan tubuh mereka. Kita hanya bisa mencium kerikil yang bukan kening mereka. Kita hanya mampu menangis dan bukan tertawa bersama mereka. Dan hukuman yang paling menyakitkan dari mereka kepada kita adalah jutaan penyesalan, pengampunan, dan yang paling menyiksa adalah kerinduan yang tak ada habisnya.

Kini aku terlihat seperti pengembara rindu, menerima dan tak pernah mengadu. Akankah nasibku akan seperti nenek? Atau sejak awal bukan rindu masalahnya? Manusia untuk manusia lain, bukankah itu masalahnya? Harusnya tak usahlah kita berbagi kemanusiaan, tak perlu kita berbagi kasih, mungkin seorang pengecut seperti saya terlalu penakut untuk menerima kehilangan. Sial, memangnya mereka tahu apa? Belum selesai percakapan kecilku dengan kepala ini, terdengar suara ketukan pintu rumah, ketukan itu seolah tanpa jeda. Berulang kali seperti tak sabar, kuintip di balik jendela siapa orang yang penuh dengan tergesa itu?

“Ayah?” Apa yang dilakukan pria itu di rumahku? Pria itu kataku? Bukan bermaksud tidak sopan, tapi memang kami tidak berhubungan baik, sejak ia meninggalkanku dengan adik laki-lakiku yang kini ia bahkan tak lagi menjadi bagian dari perputaran bumi. Tapi bagaimanapun kubiarkan pintu itu terbuka.

“Kudengar nenek meninggal. Jadi aku datang untuk melihatmu juga.”

“Aku belum meninggal.” Raut wajah ayah mulai heran, dan tampak tidak suka dengan apa yang aku sampaikan.

“Apa maksudnya?”

“Kau hanya datang mengunjungi seseorang ketika ia meninggal. Jadi datanglah kemari ketika aku meninggal.” Ayah masuk dengan penuh amarah, lalu duduk begitu saja di kursi ruang tamu.

“Begitu caramu berbicara dengan ayahmu?”

“Terakhir kali kau datang, ketika adikku meninggal, dan kini kau datang lagi ketika nenek meninggal. Apa salah perkataanku?”

Ayah memegang kepalanya, seperti ia sudah terkena pukulan keras, dan kini kepalanya terasa sakit, air mukanya berubah seperti orang yang bersedih tapi juga kebingungan, seperti orang yang marah tapi juga prihatin.

“Apa kau masih bersedih?”

“Ya!”

“Ini sudah belasan tahun, adikmu akan sedih jika kau terus seperti ini!”

“Kami hidup bersama, kurasa satu-satunya orang yang tak bersedih hanya dirimu.”

“Kau persis seperti ibumu!” Demi Tuhan, rasanya aku ingin membunuhnya saat ini juga. Beraninya ia menyebut ibuku, tahu apa dia?

“Tahu apa kau soal ibuku?” Aku kini berdiri di hadapannya, berkata dengan begitu dingin dan tajam, sungguh aku sudah tidak memiliki kekuatan untuk berdebat, tenagaku sudah habis, dan aku merasa sangat sesak.

“Kau ingin merasa sangat hebat sekarang? Kau ingin berkata pada seluruh manusia? Jika perempuan yang menjadi ibuku mati karena merindukan pria sepertimu?” Ayah mulai menatapku dengan mata yang besar, dia seperti menyesal memiliki anak perempuan yang akan berdiri melawannya.

Ibuku mulai sakit-sakitkan sejak pria ini pergi meninggalkan kami, ibu memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya, dan membiarkanku tinggal di rumah sederhana ini bersama adikku. Sejak lulus sekolah aku bekerja mati-mataan demi adikku satu-satunya, karena hanya ia yang kupunya. Hanya ia yang memelukku, merindukan kepulanganku, dan mengharapkan keabadianku. Tapi ia tak berdoa untuk keabadiannya. Sejak ia tahu ibu kami meninggal karena sakit akibat kerinduan pada suaminya, adikku begitu bersedih. Kami tak dibiarkan melihat ibu, karena ibu memberi amanah untuk membiarkan ia mati dalam kesunyian. Alasan sederhana yang ia buat sendiri. Hanya karena tak ingin kami bersedih dan tersiksa.

Tapi, ibu sepertinya lupa. Tak ada anak yang tak tersiksa, ketika belahan tubuh dan jiwa mereka pergi untuk selamanya, adikku tak dilahirkan untuk menjunjung rindu, ia pergi dengan cara yang sama seperti ibu. Kini, aku begitu tersiksa sendirian, aku benci ketika akal sehatku memaksa untuk tetap waras. Memaksaku untuk tidak membiarkan rindu menggerogoti setiap bagian dari diriku. Tapi, sungguh dalam hati kecilku, aku juga ingin dirindukan, aku ingin ayah tersiksa karena rindu, seperti yang kami rasakan. 

“Ayah, jika boleh sejak kecil kau cabut saja hatiku, lebih baik dari pada aku harus mati karena rindu. Dengan lantang kukatakan, aku memang persis seperti ibuku, cinta dan kasihnya mengalir di darahku. Ayah, tidakkah kau merasa sepeti itu? Hanya aku yang tersisa, tidakkah kau merinduku? Bahkan jika dalam kematianku, bisakah kau merinduku? Seperti aku yang merindu pada adik, nenek dan ibu. Tolong kau rindukan aku.” Tatapan ayah mulai melunak, matanya memerah seperti ingin menangis.

“Aku merindukanmu, Nak. Tentu aku merindukanmu.” Ayah mulai menangis, ia menjambak rambutnya frustrasi.

“Jika begitu, pergilah dan jangan pernah kembali. Tersiksalah karena rindu itu!”

Kata orang cinta itu menyenangkan, kataku cinta itu membingungkan. Ketika jatuh cinta, aku hanya ingin membuat dia tetap bersamaku, aku hanya ingin mengikatnya di sebuah ruangan dan menjadikannya milikku satu -satunya, ketika jatuh cinta aku hanya ingin mencabut hatinya dan menjalinnya dengan hatiku. Aku hanya ingin dunia berputar di sekitar kami. Betapa mengerikannya. Setidaknya begitu pikiranku perihal cinta.

Ketika mencintai, tak kurelakan ia meninggalkanku, walau dalam gelapnya malam, walau dalam silaunya pagi, walau dalam teriknya siang. Tapi, dosa besar telah kulakukan, sejak terakhir pembicaraanku dengan ayah, kami memang tak pernah bertemu lagi. Sampai seorang kerabat datang mengunjungiku, tanpa sepatah kata pun aku telah mengerti apa yang hendak ia katakan, dari matanya yang penuh keraguan untuk menyampaikan sesuatu kepadaku, tangannya yang bertaut gugup, dari sana aku tahu bahwa ayah telah pergi. Ayah benar-benar pergi karena tersiksa akan rindu. Aku benci rindu.

Aku benci cinta, aku benci rindu, harusnya kubiarkan ayah tinggal bersamaku, yang kulakukan tak lebih sama dengan apa yang dilakukan anak nenek. Aku terlalu bodoh untuk mengakui bahwa aku masih mencintai ayah, terlepas bagaimana kejamnya ia pada kami, tapi cinta selalu melahirkan duka, suka dan rindu. Kupikiri ayah hanya akan hidup dengan baik, tapi di pertemuan berikutnya, aku malah kembali memeluk gumpalan tanah.

Kini tak ada siapa lagi yang tersisa, tak ada siapa lagi yang akan memeluk gumpalan tanah milikku, rindu sialan itu benar-benar sudah menggerogoti tubuhku, tubuh mereka yang meninggalkanku, dan tubuh manusia yang mati karena rindu. Apa yang perlu kusampaikan lagi pada Tuhan? Kurasa Tuhan sudah mengerti pikiranku, jika saja kematian bisa kujemput sendiri, sudah kulakukan sejak jauh-jauh hari. Tapi biarlah kini, aku ingin nikmati pedih ini sendiri.

“Sabar ya, Nak.”

“Malangnya dirimu, sudah ditinggal ibu, adik dan kini ayahmu.”

“Semoga Tuhan menguatkanmu.”

“Jika butuh sesuatu datang saja padaku.”

Suara itu, suara yang menemani dukaku setiap waktu. Manusia harusnya belajar untuk menutup mulut. Mereka kadang lupa bagaimana berkata, dan dalam situasi apa, atau memang itu hanya sebuah kebiasaan masyarakat yang minim empati, atau hanya aku yang berpikir begitu? Basa-basi yang tak berisi.

Kini aku duduk sendirian di pemakaman ayah, harusnya kami kini di ruang tamu, aku akan menyajikan kopi padanya, bukan bunga mawar merah dan segenggam bunga melati.

“Ayah, aku memintamu merindukanku bukan untuk meninggalkanku. Jika tahu akan seperti ini, aku tak akan memintamu merindukanku, biarlah seperti dulu.” Akhirnya aku menangis, setelah berjam-jam aku menahan diri di hadapan banyak orang, akhirnya aku menangis di hadapan ayah.

“Ayah, ibu selalu bilang padaku. Baginya kau adalah bulan di malam hari, begitu terangnya cahayamu, tapi ibu hanya ingin bersembunyi di balik kepala bulan, memeluk dan mendukungmu, ia tak ingin menghalangi sinarmu. Kini bolehkah aku menjadi bulan bagi kalian? Bersembunyilah di belakang punggungku, bantu aku bersinar. Bantu aku agar rindu yang kini sudah menghancurkan separuh tubuhku, tak lagi menghancurkan separuh yang lain.”

“Malam ini, Ya. Bulan akan bersinar lebih terang dari biasanya, itu adalah sinarku. Sinarku yang terbebas dari rindu, semua tentangmu, adik dan ibu. Kubiarkan tersimpan di sela-sela otakku bukan hatiku.”

Aku kembali ke rumah dengan perasaan yang semakin membaik, segala sesuatu yang terjadi, aku percaya Tuhan masih menyayangiku, karena seperti bulan yang bersinar kepada siapa pun. Aku yang akan meremukkan rindu dan melipatnya menjadi bulan, aku akan menjadi bulan bagi diriku, karena aku tahu. Di mana pun, akan selalu ada nenek, adik, ayah dan ibu yang akan merindukan dan menantikan kedatanganku. Sampai hari itu tiba, biarkan aku menjaga mereka sebagai cahaya yang bersinar kapan saja.



Nabila Yumedika Shanda, seorang Mahasiswi aktif Sastra Indonesia, Universitas Andalas.

 

Pembahasan Cerpen