Jika Sore Itu Tak Jatuh, Cerita Ini Mungkin Belum Berakhir

03/12/2021

 

 

Aku melihat kecurangan-kecurangan disuguhkan di atas meja makan kita. Dengan gaduh suara piring bergambar bunga yang terbuat dari sisa seng itu melenting suaranya. Sementara, representasi yang sama hadir dari balik layar kaca, dengan ujaran menu mewah berbaris dari dalam sebuah etalase kaca. Kita mencerna ilusi, kita menelan air mata dan hanya membayangkannya saat merogoh isi kantong yang kempes. Coba tebak, berapa kalimat yang butuh dievakuasi karena kegagalan ini?

Keesokan harinya, orang-orang satu macam ini tak menghiraukan apa yang terjadi kepada mereka. Mereka dengan tenang mengikuti sisa langkah orang lain. Besar kemungkinan, orang-orang itu takut keberhasilan yang gagal bila memilih langkah barunya—yang diciptakannya sendiri. Dari sini aku membayangkan sesuatu. Saat itu, pada suatu hari. Begitulah biasanya sebuah cerita dimulai. Aku berjalan sendirian, tanpa perintah dari pikiranku. Tubuhku merespons apa yang dia inginkan, dan tak tahu motif apa yang melatarbelakanginya. Terkesan imajinatif. Kemudian, di sebuah taman aku berhenti dan duduk. Tapi tidak sepi. Karena tema besarnya bukan itu. Pandanganku berayun ke arah yang kira-kira 10 meter dari tempatku duduk bersama sebatang rokok di sela jari yang masih belum menyala. Justru orang-orang yang mulai terbakar, mereka ramai lalu lalang seperti mesin.

Bau amis, raksasa bangunan yang berbaris, pertukaran nasib dan putaran roda yang saling mendahului terlihat  biasa saja dari atas tumpukan barang bekas dalam gerobak yang menjadi harta benda hidupnya. Aku melihat ia rebah di atas taman bunga kawasan elite BSD yang jaraknya 10 meter dariku itu.

"Prit... Jangan mengotori pandangan mata orang lain. Sebaiknya kau pergi dari sini. Lihat gerobak ini, tumpukan sampah itu, bisa saja berceceran dan akan menyusahkanku nanti. Sudah pergi sana, taman ini dibangun bukan untuk tempatmu bersantai-santai." Seorang berseragam menegurnya.

Coba kau bayangkan, setiap warga negara katanya sama di mata... Entahlah, di mata siapa. Bisa jadi di mata akik yang sedang dipoles saat musim tiba. Perasaan manusia bukan tolak ukur atas perbuatan yang akan dilakukannya. Ia terus berjalan dalam adegan yang haru. "Harusnya ini bukan nasib yang aku terima." Ujar saat ia melanjutkan sisa tenaganya. Ia harus mengisinya di tempat yang lain.

Kemudian seorang dengan jas hitam terlihat turun dari mobilnya, menjatuhkan sesuatu, bentuknya kotak berwarna hitam. Entah koper atau kotak saja disebutnya. Nalarku di luar batas makna saat mencoba mendeskripsikan itu dengan waktu yang spontan. Seorang itu kemudian mengayunkan pandangannya, mencari jawaban dari kepalanya, "Apakah ada yang memperhatikanku dalam keadaan begini?" Tanyanya kepada dirinya sendiri.

Kulihat, dari jarak 10 meter, tapi bukan dari arahku. Dari arah ia yang mendorong gerobaknya tadi, dengan raut wajah yang lain memperhatikan agak serius. Mungkin saja banyak pertanyaan dalam kepalanya. Bisa saja ia penasaran dengan isi dalam kotak yang sebenarnya tak ia ketahui bahwa dengan sengaja dijatuhkan seorang berjas hitam tadi. Seorang berjas hitam itu kemudian pergi dengan meninggalkan koper atau kotak hitam itu.

Coba kalian tebak lagi, perasaan apa yang dirasakan ia yang mendorong gerobak tadi? Sebelum otaknya mulai berpikir, kejadian apa yang merangsang tubuhnya untuk bergerak melampaui apa yang ia bayangkan? Berangkat dari pertanyaan ini, aku teringat oleh sebuah saran singkat dari percakapan beberapa tahun lalu bersama seorang perempuan yang sekali pernah bicara denganku di sebuah halaman universitas swasta.

Menurutnya, jika dua pasang mata dalam sebuah kotak telah menetas dan diceplok setengah matang, sepat yang dirasa pada mata tidak mengherankan. Kuningnya akan mencair setelah terik dari langit-langit pecah dan membawa kita pada mimpi-mimpi siang bolong, pada batu hati yang kosong.

Apakah kalimat ini menuntut makna sebagai jawaban? Ini belum pernah terbalas. Aku tak pernah bertemu dengannya lagi. Aku tak pernah tahu apa yang diinginkannya. Kembali kepada situasi tadi, ia akhirnya mendekati koper atau kotak hitam itu. Memasukkannya ke dalam gerobak yang penuh dengan barang yang samar: bentuk dan warnanya. Kau bisa membayangkan itu seperti sebuah lukisan abstrak yang dijajakan di pinggiran jalan. Orang-orang tak ada yang pernah peduli. Sehingga membuat koper tadi, atau kotak hitam itu menjadi asing di mata orang lain. Ia melangkahkan kakinya berayun lebih cepat meskipun dengan mengorbankan tenaganya dua kali. Ban dari gerobak itu terlihat kempes, itu yang membuat langkahnya menjadi semakin berat.

Waktu membawa riuh jalanan pukul setengah enam sore ke dalam kaset pita dengan walkman yang masih bertahan dari sekaratnya zaman. Zaman semakin sesak tapi kemungkinan selalu datang tak mengenal rentang waktu. Aku mendengar nada-nada yang pernah hilang, dengan kecemasan yang diatur sedemikian rupa, agar terdengar harmoni. Ini yang kemudian membawa pengalamanku menjadi haru.

Pukul 20.03 aku sudah tidak berada di taman tadi. Sejak pukul 19.00 cerita sudah berubah. Saat aku asyik mendengar suara dari walkman itu, aku kehilangan lanjutan dari ia yang mendorong gerobak dan seorang berjas hitam dengan koper atau kotak hitam yang sengaja ditinggalkannya. Mereka telah hilang dari pandanganku.

Waktu telah melampaui hari. Itu sebabnya dalam bab selanjutnya aku sudah masuk ke dalam semak pikiranku yang kering. Saat aku berada di dalam rumah dan rebah di atas kasur yang beberapa kawatnya sudah keluar, ini menimbulkan suara lengkingan yang membuat orang lain terganggu, tetapi aku masih memikirkan kelanjutan cerita tadi dan mengabaikan orang-orang itu. Aku tidak peduli, sungguh. Justru, peristiwa pada sore itu belum bisa lepas dari pikiranku. Kenapa dan apa motif dari semua itu. Mungkin, sampai besok aku akan menunggunya dalam surat kabar, atau televisi di atas etalase warteg saat aku makan siang. Tapi ini bukan jawaban yang tepat. Mengira-ngira buatku justru makin mempersulit dan membawa semua ini semakin jauh.

19 September, dua bulan setelah apa yang aku saksikan, aku bertemu dengan sosok seperti ia yang seorang pendorong gerobak waktu itu. Ia mengenakan jas hitam dan membawa sebuah koper atau kotak hitam yang sama persis seperti dua bulan lalu pernah kulihat dibawanya ke dalam gerobak. Tapi akhir cerita ini lain, ia turun dari dalam sebuah mobil dan mengayunkan pandangannya ke segala arah.

 

Pondok Aren, 28 September 2021

 


Amarah Iramani, tinggal di Pondok Aren, Tangerang Selatan. Menulis cerpen, puisi dan esai. Tahun 2020, buku kumpulan puisi pertamanya, Siasat dan Tiga Puluh Tiga Puisi Putus Asa, diterbitkan oleh penerbit Langgam Pustaka. Cerpen dan esainya juga pernah di muat oleh buletin Lintang, Perpuslistiwa dan Jurnal Suara Konfrontasi. Bisa dihubungi melalui 0857 7444 6012 atau melalui instagram @amarahiramani00.