Dari Sunda ke Jalan Lain Menuju Eropa

26/06/2025


Setelah perang berakhir dan Dyah Pitaloka urung bunuh diri karena Gajah Mada memberinya pedang tumpul untuk semua para prajuritnya, sejujurnya ada ucapan Dyah Pitaloka yang seolah tak terdengar. Semacam sumpah serapah jika ia ingin menenggelamkan semua laki-laki keturunan Jawa dalam derita tiada akhir jika ada yang berani menikahi gadis-gadis Sunda.

Namun, tak perlu membuktikan sumpah pun, bukankah begitu. Cinta, deritanya memang tiada akhir. Dan sebuah pesan di ponsel bilang berani-beraninya aku mengacak-acak sejarah, meralat jadi sebuah cerpen, memasukkannya dalam buku, lalu ingin memamerkannya di Trafalgar Square, Eropa. Aku bisa dipenjara, katanya.

“Kamu sok tahu. Memang kamu sudah ada saat perang Bubat berlangsung? Bahkan Colombus saja masih kebingungan di selat Gibraltar karena lupa membawa kompas dan ia hanya berpatokan pada rasi bintang. Memang kau tahu jika sejarah kadang hanya sebuah karangan?”

Colombus butuh puluhan tahun meninggalkan Eropa demi menemukan sebuah daratan baru. Sama sepertiku yang butuh puluhan tahun demi menemukan cinta yang baru. Bukan begitu Ron? Kubalas ejekan itu.

Ron adalah sahabat terbaikku. Teman bertualang sekaligus adu pengalaman. Tak jarang kami bertengkar mempertahankan keyakinan masing-masing. Kabar baiknya setelah bertengkar, nafsu makanku jadi bertambah. Aku juga pengen gendut sepertinya, tetapi yang pasti, kami dipertemukan oleh takdir yang sama. Oleh dua kata. Perempuan dan kehilangan.

Malam itu kuputuskan saat ia ingin menengok anak satu-satunya di pulau Andalas, aku ikut serta. Dan perjalanan itu, yang mirip dilatasi waktu, membawa kami ke masa lalu. Di kamar Daff, anak laki-lakinya, aku menemukan buku atlas dan kompas. Tepat terbuka di lembaran gambar benua Eropa. 

“Dia umur berapa?”

“Enam.”

Aku kira ia bakal mewarisi tabiat papanya. Hobi ngayab dan tak betah di rumah. Aku kira anak zaman sekarang lebih suka buka Youtube, ia beda. Sebetulnya itu tak terlalu buruk untuk seorang anak laki-laki. Bapak pernah bilang, ari-ariku yang tertanam jauh di samping tol Surabaya-Sidoarjo juga bakal membawaku pada hal yang sama. Ingin mengikuti ke arah mana kaki membawa pergi demi melihat seperti apa dunia. Juga dengan kemasyhuran Eropa.

Aku sedikit memiringkan posisi kepala ke kanan. Sebuah tembak-tembakan kayu terpasang di dinding kamar. Kata Daff, itu sengaja ia siapkan jika papanya mulai nakal dan merayu banyak wanita. Tak ada yang lebih cantik dari almarhum mamanya. Dia cerita padaku malam itu tepat saat aku penasaran dengan pistol-pistolan bambu. Aku paham, pistol ini bisa dipakai jika diisi buah buni.

“Kamu punya banyak pistol mainan ya?”

“Tidak juga, lebih banyak kasih sayang Papa padaku.”

Aku meringis. Mendengar jawaban seorang bocah yang baru saja melepas predikat balita, aku tak bisa berkata apa-apa. Hingga pandanganku terlewat, ia telah menempelkan kertas di dinding. Ada sepuluh garis lingkaran. Ia mengajakku adu panahan karet. Jika aku kalah, harus bersedia menceritakan petualangan Colombus di Amerika.

Sejatinya aku sudah merasa kalah dari awal. Aku tak jago konsentrasi. Daff bisa saja mengalahkanku dalam satu tarikan dan lesatan panah itu tepat menempel sempurna di pusat lingkaran. Keahlianku hanya pandai berimajinasi. Termasuk sering membayangkan satu tarikan tangan perempuan membawaku masuk ke dalam kamar lalu melucuti semua pakaianku, melolosi semua isi kepalaku.

“Pacar Oom mana? Kenapa tak dibawa?”

Sejak pertama kali bertemu, aku tak tahu kenapa ia selalu memanggilku dengan huruf “O” dobel. Mungkin karena lidahnya lebih panjang dariku. Aku juga tak tahu. Setahuku hanya kadal yang lidahnya panjang. Dan bagiku, Ron bukan kadal. Tetapi buaya. Jelas Daff yang se-gemoy dan selucu itu bukan anak kadal atau buaya. Biar Papa-nya saja yang nakal.

Sebelum ini, Ron pernah memperlihatkan deretan foto wanita yang pernah dipacarinya sebelum bertemu denganku. Ron, bisa menebas leherku jika sampai membaca tulisan yang bernada menghina ini. Watak Ron yang asli sangat berbeda dengan yang kulihat. Namun, bukan itu masalahnya. Aku harus memberi jawaban apa pada bocah di depanku yang aku yakin isi kepalanya penuh imajinasi sepertiku. Jawaban yang mengada-ada malah akan membuatnya lebih banyak bertanya.

“Daff kelas berapa?”

“Oom sering mengalihkan pembicaraan. Sama seperti Oom yang sering mengalihkan perasaan.”

Kupandangi wajah polosnya. Jika mengatakan kalau sampai sekarang aku belum menemukan cinta yang baru, itu adalah jawaban paling lebay yang pernah ada dalam kepalaku. Ia masih bocah. Perspektif cinta kami tentu berbeda dengannya. Bahkan ia pasti tahu jika papanya pun sering kesepian. Berkejaran dengan waktu demi menemukan hati yang baru.

Sial. Aku kembali meringis getir. Dia bocah cerdas. Aku malah terjebak dalam pertanyaanku sendiri. Setelah tadi aku kalah dalam panahan, aku dipaksa bercerita tentang Eropa yang sekali pun aku belum pernah ke sana. Dan malam ini aku dipaksa bercerita tentang Colombus dan Amerika.

“Messi, Barcelona, Camp Nou, Daff ingin ke sana.” Suaranya terdengar merajuk di antara suara pletak-pletok panah karet.

Malam itu, selesai menceritakan hal yang sebatas aku tahu_sedikit membuka Google_tentang Colombus dan Amerika, ia tertidur di ranjangnya. Perasan geli dan lucu melihat wajah bulat teduh yang belum begitu paham tentang dosa. Satu hal jika imajinasi liarnya bisa membawanya ke dimensi lain tanpa batas. Agak mengerikan untuk bocah seumuran dia.

“Ron, kau sudah sembunyikan semua buku filsafat dariku bukan? Itu bukan untuk anak-anak.”

“Kau tak akan pernah tahu. Semua benda yang disentuhnya akan membawanya pada imajinasi tanpa batas. Pada cerita-cerita yang tiba-tiba terucap dari bibirnya dan aku dipaksa mendengarnya. Ini terdengar aneh memang. Aku juga tak tahu apa ini akan menyulitkan kehidupannya. Kuharap ia tak membaca cerpenmu yang ngawur dan mengacak sejarah itu.”

Aku menatap Ron lebih dalam di antara lampu gantung warna-warni di atas ranjang Daff. Membawa imajinasi dari setiap benda yang disentuhnya? Aneh.

“Malam ini aku boleh tidur dengannya?”

“Haha, kenapa harus bertanya. Sejak pertama kali bertemu denganmu aku rasa Daff menyukaimu. Kau langsung bisa jadi teman yang akrab. Dia gampang berteman dengan siapa saja. Aku belum pernah melihat yang lebih dekat dari ini. Orang lain yang sudah seperti saudara. Barangkali tegangan arus listrik dalam kepala kalian sama.” Ron tertawa sambil berlalu meninggalkanku di depan pintu kamar Daff. Setelah sebelumnya menganggukkan kepala sambil mengacungkan jempol tangannya.

Di kamar Daff, memang banyak buku-buku yang tersusun rapi di bawah meja belajar. Benar kata Ron, tak pernah ada buku filsafat di situ. Hanya atlas, beberapa majalah Bobo, komik Naruto, juga poster Lionel Messi. Aku tak paham bagaimana bisa ia menginginkanku bercerita tentang Colombus dan Eropa. Namun, dari buku atlas yang letaknya paling atas, perlahan aku mulai paham. Kulihat Yunani, Itali, Perancis, Portugal berjajar dalam gambar.

Daff terbangun mendengar suara berisik. Aku berdeham seolah tak terjadi apa-apa. Meminta maaf telah mengganggu tidurnya. Mata kami saling berpandangan hingga buku atlas yang aku pegang membuatnya berucap.

“Oom ingin ke Eropa?”

Bahkan ia bisa membaca isi dalam kepalaku. Benar kata Ron, ia bocah berbeda. Aku segera membuka lembaran atlas lalu menemukan peta Jawa.

“Mojokerto?”

Dengan cepat ia menempelkan telunjuknya di samping kota Surabaya itu. Tempat perang Bubat berlangsung ribuan tahun lalu. Hayam Wuruk, Gajah Mada, Dyah Pitaloka, lancar ia bercerita semua di depanku. Lalu kenapa ia masih menginginkanku bercerita tentang Colombus dan Amerika jika ia bisa saja lebih tahu dariku. Sekali tunjuk ke peta benua Amerika dan ia akan tahu segalanya.

“Oom pernah bilang bukan, jika sejarah bisa saja sebuah karangan?”

Benar. Ia bisa melihat masa lalu dari barang dan benda yang disentuhnya. Juga membaca isi kepalaku saat kami saling tatap. Kami baru mengenal siang tadi. Perlahan aku yakin Daff adalah bocah berbeda.

Ron pernah bercerita padaku tentang penyebab kematian istrinya dulu. Saat itu Daff masih dalam buaian. Ia belum tahu benar apa yang terjadi. Itu kenapa saat aku melihat seisi kamar, tak satu pun ada foto seorang wanita yang barangkali bisa kuanggap itu mamanya Daff. Namun, tak perlu begitu pun aku rasa Ron dan Daff telah menempatkan mendiang di tempat yang terindah di sudut hatinya.

Tetapi sebelum Ron bertemu denganku, aku punya pacar seorang gadis keturunan Sunda. Setelah keluarganya tidak setuju denganku, perlahan aku berlalu. Kami berbeda suku. Aku tak pernah tahu di mana ia sekarang, tetapi fotonya masih tersimpan rapi di dompetku. Aku ingin tahu apa yang akan Daff katakan jika memegang foto itu.

“Daff lihat.”

Aku menyodorkan foto itu agar ia memegangnya. Awalnya ia ragu, tetapi aku seolah memaksa memberikan foto itu ke telapak tangannya.

“Ini ....”

Daff berhenti. Ia tak meneruskan cerita. Ada bagian-bagian sensitif dalam cerita di kepalanya yang sepertinya membuat ia tiba-tiba mengeluarkan air mata. Benar-benar berhenti. Lalu mata kami saling tatap. Aku berusaha memeluknya. Merasa bersalah. Ia membalas pelukanku.

“Oom masih beruntung dibanding papaku. Ini foto mamaku. Oom tak menyesal ‘kan berteman dengan Papaku?”

Aku diam. Bingung harus berucap apa. Seakan percaya jika kutukan Dyah Pitaloka yang saat itu teraniaya berlaku di kehidupan nyata. Dadaku terasa disayat-sayat melihat kenangan lalu yang perlahan berjajar di depan mata. Keinginanku makin bulat. Segera pergi secepatnya menuju Eropa.

Malam itu, Daff tertidur di pangkuanku setelah air hangat membasahi baju dan celanaku. Ron bilang ia pernah memperlihatkan foto mendiang istrinya ke Daff untuk sekali saja. Entah kenapa Daff terus ngompol selama seminggu.
***
    
Seminggu berlalu setelah kepulanganku ke Surabaya, aku mengikhlaskan kisah gadis Sunda yang terus menghantui kepala. Namun, aku malah terus kepikiran dengan Daff, bocah hebat yang bisa membaca sejarah lalu dengan benda yang disentuhnya.
    
Maka, malam itu, atas permintaan seseorang, aku menelepon Ron, Papa-nya Daff. Berharap mereka bisa membantu.
    
“Gila! Tidak akan. Daff tidak akan melakukannya!” 
    
Aku kaget dia bisa semarah itu. “Aku mohon Ron, sekali ini saja. Kalian tidak hanya menyelamatkan aset negara, kalian juga akan menjadi penegak kebenaran. Aku sudah punya foto buronan KPK itu. Nanti tinggal aku kirim WA, kamu cetak di situ lalu Daff suruh memegangnya biar ia cerita.”
    
“Tak akan! Kamu tak paham apa yang kutakutkan selanjutnya jika Daff menceritakan semuanya. Jika kamu masih mau jadi sahabatku, tolong minta bantuan orang lain saja.”
    
Percakapan diputus paksa. Aku terdiam lesu. Lima menit berlalu, ada tulisan WA muncul di pop-up layar ponsel. Mataku yang tadinya bening serupa biji kelereng mendadak memerah dan seolah punya pikiran ingin cepat-cepat pergi dari sini menuju Eropa.
    
“Kejahatan di negeri ini sering dilakukan secara berkelompok. Di tangan pemegang kekuasaan, kebenaran bisa direkayasa. Kamu cari orang lain saja. Aku masih sayang Daff.”

Biodata Penulis:
Dody Widianto lahir di Surabaya. Karyanya tersebar di berbagai media massa nasional seperti Koran Tempo, Republika, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Kompas.id, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Radar Bromo, Radar Madiun, Radar Kediri, Radar Mojokerto, Radar Banyuwangi, Singgalang, Haluan, Rakyat Sumbar, Waspada, Sinar Indonesia Baru, Tanjungpinang Pos, Bangka Pos, Pontianak Post, Gorontalo Post, Fajar Makassar, Suara NTB, Rakyat Sultra, dll. Silakan kunjungi akun IG: @pa_lurah untuk kenal lebih dekat.