Api yang Padam dan Janji yang Diingkari

21/08/2023

        Seperti pesan Sunarti kepada Ririn, bahwa jangan sampai gadis itu meninggalkan perapian ketika menyalakannya nanti sore. Ia akan kembali membawa beberapa makanan saat kembali. Dengan patuh, Ririn yang lebih akrab di sapa Rin menjaga perapian untuk ibunya yang berjanji akan datang secepatnya. Rin menatap keyakinan di mata ibunya yang terlihat sayu dari biasanya, perempuan itu terlihat kuyu dan pucat, ia kurang tidur. Rin ingin pergi menggantikan Ibu, tapi beliau bersikeras untuk pergi sendiri dan memohon agar Rin menurut kepadanya kali ini.

“Jagalah api Rin ketika sore menjelang malam, Ibu akan usahakan kembali sebelum matahari terbenam, jangan biarkan padam apinya. Ketika Ibu datang kita akan segera memasak ubi, beras, jagung dan apa saja yang ibu dapat.” Rin berbinar, Sunarti menangkup wajah kecil putrinya yang  kurus, beberapa arang kayu menempel di wajahnya, membuat gadis itu semakin berantakan.

“Rin tidak akan beranjak sampai Ibu datang,” Jawab gadis kecil itu dengan bibir bergetar, matanya berkaca-kaca. Sunarti tak kuat melihat linangan air mata di wajah Rin. Sebelum ia ikut menangis dan membuat hatinya melemah, Sunarti segera dengan tegas mengambil sikap.

“Jangan menangis Rin, selain kau menjaga api nanti sore, kau juga tak diizinkan menangis sampai ibu kembali.” Rin segera menyeka kedua matanya dan mengangguk, Sunarti bergegas meninggalkan putrinya yang kini menahan air mata, menatap sedih dirinya di depan perapian.

                                                                        ***

       Musim kemarau sudah hampir setahun di desa Lemau. Hasil perkebunan dan pertanian mati. Air di sungai semakin hari semakin mengering, para nelayan dan petani kini kehilangan mata pencaharian. Ekonomi kian memburuk dan warga banyak jatuh sakit hingga meninggal. Wabah kelaparan sudah tidak bisa dibendung, warga kadang tak bisa menahan diri untuk mengisi perut, mereka rela mencuri  untuk makan. Tapi tidak bagi Sunarti, meski ia juga salah warga yang kini kehabisan persediaan di dapur, ia tidak akan mencuri hanya untuk memenuhi perut. Dengan berat hati, setelah mendapat informasi dari beberapa warga di desa Lemau, bahwa di  sebelah Utara ada sebuah desa kecil yang makmur, memiliki hasil kebun melimpah. Bagi warga yang mengalami kemarau panjang musim ini, kabarnya boleh pergi ke sana untuk bekerja, setelah itu akan diberi banyak hasil kebun dan pertanian seperti jagung, ubi hingga beras sebagai upah. Sunarti tergiur dan ingin mencoba pergi ke sana. Namanya desa Mago yang terkenal dengan hasil alam. Ia berharap setelah mendapat pekerjaan di sana, bisa pulang dalam satu hari dan menemui Rin yang sedang menantinya. Maka pagi itu, saat matahari semburat di timur. Sunarti memberi perintah kepada putrinya untuk menghidupkan bara di tungku sekitar jam lima sore, kemungkinan ia akan kembali sekitar jam demikian. Rin berbinar dan berjanji akan menghidupkan perapian hingga Ibunya tiba.

                                                                        ***

      Sunarti memasuki hutan yang lebat sebelum memasuki kota Mago, sebelah Utara desa Lemau. Dalam keadaan lapar perempuan itu terus berjalan, sesekali ia beristirahat hanya meminum air, sebagai bekal satu-satunya yang dibawa. Matahari sudah mencapai puncak kepala, separuh perjalanan hampir usai. Kaki Sunarti mengalami banyak luka, badannya terasa sangat letih. Setelah beberapa saat beristirahat ia melanjutkan perjalanan, tapi belum jua ada tanda terlihat desa Mago. Hanya bentang hutan yang membatasi desa itu dengan desa Lemau. Mengingat Rin, Sunarti seakan mendapat kekuatan untuk terus melangkah menuju tujuan, meski badannya letih dan perjalanan menuju desa itu juga jauh. Ia berharap bisa sampai sekitar dua hingga tiga jam, tapi setelah melihat kondisi sepertinya akan memakan waktu seharian dan sampai di sana akan sore, bahkan mungkin malam. Sunarti berniat di sana untuk melihat kondisi, jika pun sampai, ia hanya meminta sedikit belas kasih dari desa Mago untuk makan malam hari ini, besoknya ia akan kembali untuk bekerja.

         Setelah berjalan jauh, tibalah ia di sebuah desa yang benar-benar dipenuhi kebun teh, jagung, ubi, serta sawah yang luas. Ia tiba di sana ketika jam menunjukkan angka empat, sudah sore. Seperti mendapat sesuatu yang lama dinanti, Sunarti terasa hilang penat telah sampai di desa itu. Ia bergegas mencari rumah kepala dusun desa Mago. Tapi tampaknya di sana tidak seperti yang diduga, warganya terlihat acuh tak acuh. Ketika ia bertanya dan mengatakan tujuannya kemari, serta ia berasal dari desa Lemau,  hendak bertemu kepala suku Mago.  Tetapi  hanya mendapat tatapan aneh. Sunarti menjadi pusat perhatian warga desa Mago. Perempuan itu mulai was-was, tapi tiba-tiba saja para rombongan warga Mago menyerbu dan berteriak membawa alat-alat tajam. “Ada orang asing, dari desa Lemau, ayo buru.” Sunarti spontan berlari, ia tidak tahu kini telah berada di desa Mago atau di desa yang salah. Apakah mungkin dirinya tersesat, tapi saat ini terlalu lelah berpikir, ia terus berlari saat segerombolan warga desa Mago mengejarnya. Naas bagi Sunarti, saat tengah berlari sambil berpikir dia terkepung di tepi jurang. Perempuan itu kini di ambang kematian, ia sepertinya benar-benar tak bisa menempati janji untuk menemui Rin yang kini menyalakan bara di perapian dengan semangat. Sedangkan ibunya berusaha meregang nyawa di ujung tebing.

“Siapa kalian, kenapa ingin membunuhku,” Sunarti berteriak marah, sambil mengacungkan sebilah ranting patah kepada para warga Mago.

“Kau yang siapa, berani sekali masuk ke kawasan desa Mago?”

“Begini, sebelum kalian membunuhku, biarkan aku bertanya satu hal?” Salah satu di antara mereka memberi isyarat untuk menurunkan senjata tajam. Lalu mempersilahkan Sunarti bertanya. “Desa Lemau mengalami kemarau, kudengar di desa Mago memiliki hasil alam melimpah dan membutuhkan pekerja untuk memetik hasil kebun, serta diberi upah, benarkah ini desa Mago itu?” Semua warga desa Mago tertawa terbahak-bahak.

“Dasar warga Lemau yang bodoh, kami tidak akan membiarkan siapa saja memasuki dan memiliki hasil alam dari desa ini.”

“Lantas kenapa kalian berbohong?” Sunarti marah, ia mencoba mengarahkan ranting di tangannya, tapi patah ditebas oleh salah satu warga desa Mago.

“Kami tidak berbohong, kalian saja yang mudah tertipu.”

“Apakah ini jebakan kalian?” apa salah kami?” Sunarti berteriak karena marah.

“Desa Mago dan Desa Lemau telah melepas diri, kami hanya perlu membalaskan dendam kepala suku kami yang dikhianati oleh Desa Lemau, siapa pun warga yang memasuki kawasan kami berhak mati,” Ucap mereka dengan penuh amarah.

“Apa pun permasalahan kalian, aku tidak tahu, aku hanya warga miskin di sana, semua tidak akan berubah jika hanya membunuh warga kecil ini, jalang!” Teriak Sunarti berapi-api.

“Tutup mulutmu perempuan kurang ajar,” Teriak salah satu di antara mereka, tidak kalah.

“Langit akan melihat perbuatan jahat kalian,” Ancam Sunarti sambil mengacungkan ranting, was-was terhadap warga desa Magi yang sedang mengepungnya

“Haha, apa yang bisa langit perbuat untukmu yang miskin,” Prash ... darah segar muncrat dan berserakan di sekitar tebing, Sunarti tumbang ia menatap tajam ke arah para warga desa Mago.

“Pergilah ke langit tinggi wahai warga pengkhianat, penderitaan kami sungguh lebih sakit dari ini.”

Sebelum tubuhnya jatuh ke bawah, ia mengingat Rin yang kini sedang menunggu perapian. Air matanya luruh, dengan suara lemah  perlahan menghilang, tubuhnya jatuh ke aliran sungai tepat di bawah jurang.

“Rinnn ...”

                                                                         ***

         Desa Mago dan Desa Lemau memiliki perjanjian untuk kerja sama perkebunan, karena desa Mago sukses dalam menghasilkan perkebunan. Kepala suku desa Mago dan Lemau saling bersepakat untuk menyatukan desa mereka dan membagi hasil kebun dengan rata. Setelah semua itu disepakati dan desa Lemau menjadi desa yang melimpah oleh hasil kebun, warganya makmur. Sayangnya desa Mago mengalami penceklik, sesuai kesepakatan kepala suku desa Mago meminta untuk menyatukan dua desa tersebut, demi menolong desa mereka yang kini mengalami kemarau panjang, kelaparan dan kematian silih berganti. Tapi sayangnya kepala suku desa Lemau ingkar janji, ia beralasan bahwa tidak akan sah suatu kesepakatan tanpa tertulis. Karena itulah membuat hubungan kedua desa itu retak. Desa Mago semakin menderita karena panceklik sedangkan desa Lemau begitu makmur. Mereka lupa membalas jasa atas pemberian desa Mago dahulu. Karena sakit hati, warga Mago menyusun siasat untuk membalas kesakitan mereka, bertahun-tahun mereka sepakat membangun kembali dengan susah payah hasil alam, hingga desa Mago  kembali seperti semula. Sedangkan desa Lemau kini mengalami kemarau panjang, lalu mendapat himbauan bahwa desa Mago membuka diri untuk warga Lemau. Siapa saja yang ingin bekerja membantu memetik hasil alam, akan dibekali beras, jagung dan umbi-umbian. Ternyata itu hanya muslihat desa Mago dan kebanyakan desa Lemau sudah tewas di desa itu saat mengunjungi. Dendam yang terpendam ternyata membuat Sunarti ikut tewas di tangan warga Mago.

                                                                       ***

        Rin masih menunggu tungku, sedangkan ibunya tak jua tiba saat senja sebentar lagi. Ia tetap percaya diri dan menambah kayu ke dalam tungku, barangkali ibunya akan tiba malam hari. Tiba-tiba sebuah ketukan pintu membuat ia spontan berdiri.

“Rin buka pintunya.”

“Ibu ...” Rin berlari dengan senang, matahari sudah tenggelam. Gadis itu membuka pintu dengan perasaan bahagia, saat pintu kayu terbuka lebar, senyumnya yang rekah kini sirna, melihat Wanti dan bukan ibunya, beberapa warga berkumpul di depan rumahnya.

“Mana ibu?” Suara Rin bergetar, hatinya mulai cemas. Wanti memeluk gadis itu dengan menangis.

“Yang sabar Rin, kamu harus kuat,” Ucapnya seraya memeluk Rin

“Mana Ibu, Ibu di mana?”

Rin mencoba berontak dari pelukan Wanti, gadis itu bertanya di mana ibunya. Tapi semua warga hanya menatap Rin dengan sedih. Wanti memeluk kembali Rin, ia menenangkan dan berjanji akan menjaganya. Dengan perasaan berat, Wanti dan beberapa warga lainnya menceritakan peristiwa yang menimpa Sunarti, setelah mendapat kabar dari salah satu warga desa Lemau yang juga ingin bekerja ke desa Mago, tetapi ia malah melihat peristiwa Sunarti dibunuh, dari awak hingga akhir. Ingin ia menyelamatkan, tapi posisinya waktu itu tidak memungkinkan. Warga desa Mago menggunakan senjata tajam dan ia sendiri juga tak berani untuk mendekat, hingga beberapa percakapan itu didengar mengenai permasalahan desa Mago dan Lemau. Setelah itu ia kembali ke desa Lemau dan mengabarkan kejadian tersebut. Rin tak bisa menahan diri, ia berteriak menangis melorot ke tanah  menangis histeris memanggil ibunya. Kali ini Rin tak bisa menepati janji untuk tidak menangis, sedangkan bara api ditungku perlahan padam. Menyisakan abu kayu.

“Ibuu ...”

                                                                    ***

        Setelah kejadian itu, semua warga Lemau memutus diri untuk berhubungan dan menutup informasi dari desa Mago. Mereka menutup rapat setiap perbatasan dengan desa Mago. Serta berusaha kembali membangun bersama secara perlahan desa yang kini dilanda kekeringan. Karena tidak turun hujan, warga desa Lemau memilih berpindah ke barat untuk membuka lahan  dan membangun desa baru, kebetulan di sana terdapat telaga dan sungai yang masih alami. Selang beberapa lama, musim berubah menjadi musim hujan, ketika kemarau mencapai enam bulan menuju tahun ke dua penceklik di desa yang baru dibangun. Usaha mereka berbuah manis, tahun-tahun berikutnya hasil alam itu menghasilkan. Desa baru tersebut diberi nama Peralihan barat, karena setelah mengalami kemarau panjang, ke desa itulah mereka berhasil membuka kehidupan baru. Beralih dari kepayahan hingga keberhasilan, atas dosa-dosa mereka terhadap desa Mago apa boleh dibuat, perbuatan itu bukan salah mereka sebagai warga. Kepala suku merekalah yang melakukan kesepakatan secara pribadi, hingga kepala suku mereka meninggal tidak ada yang tahu, hingga peristiwa yang merenggut nyawa Sunarti, terbongkarlah rahasia kesepakatan yang disimpan rapat oleh keluarga kepala suku. Hingga akibatnya ditanggung oleh warga Lemau yang tidak tahu menahu. Syukurnya desa Mago sepertinya juga tidak lagi memburu dan melakukan aksi. setelah insiden Sunarti beberapa tahun lalu, desa Lemau telah sunyi. Hanya tinggal puing-puing desa di tengah hutan.

Riau, 2023

Bionarasi

Nama Riska widiana. Berdomisili di Riau kabupaten Indragiri hilir. Karyanya termuat ke dalam media cetak dan online seperti Klasika kompas, Babel post, Merapi, Nusa Bali, Waspada Medan, Serawak Malaysia, Suara Merdeka, Lombok post, Magrib id. Cendana News. Dunia santri, Barisan co. Metafor id. Ayo Bandung.com. Bali politika, Majalah elipsis, Hadila, semesta seni Dll. Juga di antologi seperti (FISGB 2022) (Hari Puisi Indonesia, Masyarakat jember 2022) (Suatu hari dari balik jendela rumah sakit, Bali 2021) (Dokterku Cintaku, Denpasar 2022) (100 Tahun Chairil Anwar, 2022) (Madukoro Baru 1, 2022) (Negeri poci 12. Raja kelana, 2022) (puisi sepanjang zaman, Satria Publisher 2022) (Sebagai juara satu dalam lomba tingkat Nasional, Jakarta dan Kolaburasi) (Peraih Anugerah sebagai puisi terbaik, Negeri kertas 2022) kategori puisi terbaik nasional oleh penerbit Alqalam batang dan Salam Pedia, 2021) Bergabung ke dalam komunitas menulis (Kepul) kelas puisi alit. Alamat Facebook Ri-Ana, Instagram riskawidiana97 alamat email riskawidiyana86@gmail.com