Sajak-Sajak Kata dan Puisi Lainnya

01/11/2023

Warna Kematian

Dari langit dan laut, burung-burung berhamburan menapaki semak dan lereng bukit, memburu berabad-abad waktu yang tertanam olehmu, di kala petang, terang, siang, dan malam hitam yang menerkam tubuhmu di antara ceruk udara yang beku. Kau menyusuri hikayat dari lembah keganjilan, menanam pohon khayalan, dan membayangkan tubuhmu terbaring beralaskan teluk merah dengan warna kematian. Tak sedikit di sekujur tubuhmu, tumor-karang menjelma jalang yang merembah-menukas darah atau nadi petualang yang hidup, berlayar di sepenjuru jantung, atau rambutmu yang telah tanggal, ringkas oleh waktu yang kalap menculik umurmu dan memisahkan lisanmu dari nama Tuhan.

 

Aroma Hujan

Dalam cepat-lambat perjalanan, rel-rel, dan cerobong asap, menerorku dalam aroma hujan. Rusak ruang yang kau tahan, membawa menit-menit janggal dalam dokumenter atau piring hitam yang menyeruak - bisu. Aku mengubur-menggali tanggal yang terpendam dari jejak prasasti yang kau ukir dalam kamar dan menoreh bercak warna di tembok, bongkahan kubik  dan kerayon yang berserak meninggalkan simbolik abstrak pada langit-langit keramik, dan seluruh album biru yang menjelma abu-abu ingatanku. Di gerbong, waktu-waktu panjang dalam gedung, dalam sejarah, dalam penjara, dalam lobi-lobi tanpa peta, serentak diam-sunyi, meninggalkan wujudku dalam bentuk doa.

 

Pulang

Di kepulanganku, waktu telah ramai meninggalkan tubuhmu dalam musim-musim ganjil, musim yang menguak umur, menguak air dari mata kedukaan, musim yang meninggalkan namamu dalam harum bunga-bunga yang tak kuramal, dan musim yang terlanjur kuhirup sembari sendu mengenang wajahmu.

Epilog:

Di sebuah akhir, waktu mengkhianatiku dalam bengis, dalam kejam, dalam seluruh kisah yang dirangkai Tuhan ataukah iblis yang menjelma kedukaan.

 

Sajak-Sajak Kata

Aku masih di sini

 Dengan sebuah pena dan lembaran kertas

Duduk termenung, dengan berselubung sunyi yang melintas

Berimajima, dengan diperantara ukiran tinta beralas kertas

Aku masih di sini

Duduk diam, termenung,  tanpa suara

Merangkai hati, yang rekah terbawa atma

Mengindahkan rasa, menyanubarikan jiwa

Aku masih di sini

Menulis sajak-sajak puisi, dalam sepi tanpa suara               

Melihaikan jari, menyelaraskan rasa, di atas kertas putih tak bernoda

Menuangkan diri ini, ke dalam hanyutnya rasa yang menempa

Aku masih di sini

Mengarsipkan kenangan yang dulu pernah ada

Mungubur dalam, hati yang kini telah tiada

Dalam sebuah puisi, yang kian penuh makna

 

Terlalu lampau

Terlampau sudah deret waktu tuk mengutarakan maaf ini

Barisan lukalah menjalar ke sepertiga bagian hati yang tak terobati

Kecewa akan dirinya tak lagi bisa dianggap ringan sebelah hati

Mengkuadratkan rasa perih yang  tak lagi lirih oleh melodi

Lara ini bukan lagi hanya sekedar ilustrasi

Mudah hilang dalam bilangan yang tak pasti

Hanya tinggal emosi yang kini leluasa menguasai diri

Sulit dibenahi hanya dengan rasa sesal yang terpatri

Angka nol mengisyaratkan dirinya tuk berhenti

Menghilang, lalu pergi, menjauh dan tak pernah kembali

Hati kecil yang terluka hanya bisa memanjatkan sebuah doa

Berharap rasa sakit ini tak lagi berkurang dan bertambah lagi

 

 

Dwi Saktya Hari Aditya, kelahiran Rasau Jaya,kalimanta Barat, tahun 2004. Seorang pegiat literasi puisi, cerpen. Karyanya tergabung dalam beberapa antologi bersama, media online, dan media cetak. Jejak bisa di temukan pada akun instagram @dwisaktya._.