Pekik Malam Buta, dll.

21/10/2021

 

Pekik Malam Buta


Aku tak pernah serindu ini,

Kau mematri,

Menggema lagi.

Kala labuhan kisah usai,

Kau bertandang kemari,

dalam dini hari.

Kau toreh bait sendiri

Kurangkai baris puisi

benar-benar jeli.

Kita telah selesai,

Tapi...

tak pernah sampai.

 

30 Desember 2020

 

 

Mak!

(Antologi Emak dan Rantau I)

 

Mak,

Apa kabar?

lama ku tak dengar kau berteriak kala aku manai-jedan,

dan menaruh ember sembarangan.

Tak ada lagi yang melarangku mandi hujan,

marah ketika lambat makan,

dan pelukan erat waktu pamit di pelabuhan.

Aku sudah besar.

Budak cengeng yang kau antar-jemput sekolah dulu,

kini dewasa oleh rantauan.

Banyak keluh ingin kubagi dari segala beban

aku malu, aku segan.

Sarat masalah menumpu tetap bertahan.

Bujangmu rindu dalam kepenatan.

 

 

Gubuk Buruk

(Antologi Emak dan Rantau II)

 

“Masuk, tunggu reda!”

Jerit dulu begitu sendalu,

teduh.

Gaharu hilang using, hijau terus datang.

Kidung berlagu rintik syahdu.

Serongkeng sudut pintu

saksi bisu,

betapa dulu, kasih tak layu.

Dasawarsa memutar waktu

Berpeluk sepi memangku sedu.

Renyai tambah pekat

Gerimis memanggil lebat

Rindu menggerayang tanpa obat.

Mak, aku sekarat.

 

 

Balada Durhaka

(Antologi Emak dan Rantau III)

 

Dua ribu tiga, rantau samar dan kota ranum mekar

Aku berkata lalu emak mengiya,

"Aku pulang sebelum petang."

Bergulir rangkai masa, pagi menyapa hangat

Aku lebur dengan surya dan siang memeluk erat

Lama, sampai diri lupa siapa.

Kini, sepi merumahi raga kala tubuh sudah papa

Harta sirna dalam foya, tak bersisa apa-apa

Rindu berlabuh mengenang desa.

Aroma tanah basah selepas hujan

mengulang ingat tentang dulu yang tak sesat.

Malam telah menyapa sedang aku hampir tiada

Peluk emak di dermaga, menjadi bingkisan tanpa lupa

Janji yang terucap bersama harap, berakhir dusta yang meraja

Petang telah hilang,

aku berpulang.

 

Tepian Jogja, Juni tahun kini.

 

 

Meditasi

 

Kepada raga, untuk setiap bagian yang kusangsikan,

Terima kasih sebab memilih untuk bertahan.

Kepada jiwa, untuk setiap iri yang kurasukkan,

Terima kasih sebab memusnah secara pelan.

Kepada pikiran, untuk setiap serapan keburukan,

Terima kasih sebab memudar dengan perlahan.

 

 

Andri Septio Wibowo, lahir di Selatpanjang, 12 September 1998. Aktif bermedia sosial di Instagram dan Twitter @andriseptio_  serta Facebokk Andri Septio.