TITILASI DALAM PENGEMBARAAN REALITAS (DARASASTRA XI)

09/01/2024

 

 

Ada hal yang lebih sensitif dari segala indera yang kita miliki. Imajinasi. Seberapa cepat pikiran kita mampu menggambarkan hal-hal yang sebelumnya belum pernah terlihat, terasa bahkan mungkin belum pernah ada pada realitas sehari-hari. Akan tetapi, imajinasi berbanding lurus dengan seberapa lambannya daya pikir juga ruang ingatan kita. Sebab ingatan, nalar dan kreatifitas merupakan batasan yang cukup nyata bagi imajinasi –selain tema dan persyaratan lain jika diperuntukan untuk kompetisi. Dalam persoalan ini, ketika memulai tahapan menulis –riset, pengumpulan ide, dlsb., kehadiran imajinasi bisa menjadi solusi dari keterbatasan kemampuan indera penulis. Meski hal-hal yang terbayang dalam pikiran penulis merupakan sebuah realitas yang sebelumnya memang pernah terlihat maupun terasa, akan tetapi selalu ada batasan dalam pengembangannya. Hal inilah yang muncul pada cerpen berjudul “Banda Neira dan Jakarta” karya Nazwa Agnia Teja Respati. Lantas sejauh mana pengembaraan realitas cerpen tersebut?

Setiap karya fiksi pasti akan selalu berdampingan dengan imajinasi penulis dalam pembuatannya, yang menjadi pembatas hanyalah sebarapa besar dan kecil pengembangan imajinasi itu sendiri. Ketika kita mulai menjelajah Banda Neira dan Jakarta, pada bagian awal kita disuguhkan plot yang menarik lengkap dengan detail dan suasana yang baik. Bagaimana penulis mencoba menjelaskan ruang dari peristiwa ditambah detail pemembantu seperti unsur-unsur bunyi yang sangat khas dengan keadaan di luar perkotaan. Penulis cukup cerdas mengolah ruang yang diciptakan, tidak hanya dituangkan dalam penuturan saja, tetapi penulis mampu membangun ruang melalui dialog-dialog dan juga karakter tokoh. “Aku mau ke Jakarta. Di sini tidak enak. Tidak ada sinyal, tidak ada teknologi-teknologi keren seperti yang kau bicarakan. Tidak ada kereta di sini, rasanya benar-benar tertinggal. Kenapa Jakarta begitu berbeda?” Perhatikan seberapa detail tokoh Keila memaparkan keadaan di tempat tinggalnya.

Namun ada yang mengganjal bagi saya. Sejauh cerita berjalan, saya kurang mendapatkan rasa dan suasana dari Banda Neira. Banyak detail yang saya kira kurang berpengaruh bahkan sampai mengesampingkan hal-hal yang saya kira lebih membangun imajinasi tentang Banda Neira. Misalnya bangunan-bangunan tua, Gunung Banda Api, olahan makanan dan rempahnya juga hal lainnya yang mungkin luput. Sebab ketika penulis membubuhkan Banda Neira pada Judul ceritanya, secara spontan imajinasi pembaca pasti akan ikut terbawa. Begitupun dengan batasan imajinasinya masing-masing. Maka sangat disayangkan apabila ini hanya sebatas keterbatasan riset saja. Sebab saat ini rasanya jarak bukan menjadi penghambat bagi penulis dalam mengumpulkan informasi. Sebagai pembanding banyak karya-karya besar yang memang tersusun dari kumpulan-kumpulan imajinasi. Salah satunya buku puisi “Tidak Ada New York Hari Ini” karya Aan Mansyur yang terkonfirmasi bahwa dalam pembuatan ia hanya bermodal media sosial saja. Berinteraksi dengan orang luar dengan mencoba memahami kebiasaan dan hal lain seputar New York. Ia tidak benar-benar ke sana. Tetapi karyanya benar-benar seolah membawa kita ke New York.

 “Sengaja ditinggalkan, supaya kamu antar kemari.” Tokoh Kalif sepanjang cerita memang tidak begitu agresif dalam beberapa interaksi dengan Keila. Secara subjektif saya menyukai pembangunan karakter Kalif ini yang mampu mengimbangi karakter dari Keila yang terasa seperti gadis desa pada umummnya. Pada sebuah dialog “Kalau yang ini bunga apa?” kemudian dieksekusi dengan reaksi senyum yang luntur dengan pipi kemerahan terkesan menambah kepolosan seorang Keila. Pun begitu dengan pengembangan tokoh tambahan lainnya yang saya kira cukup. Namun hal yang mengganggu justru hadir dalam penyajian interaksi antar tokoh. Penulis seolah memaksakan menggunakan kosakata baku seperti kata sigaret, gawai, berargumen, orang berada, dlsb., yang justru terkesan dipaksakan. Bahkan hal ini berdampak pada suasana yang dibangun antar tokoh. Saya tidak alergi dengan kosakata baku, tetapi penggunaannya dalam karya fiksi memang perlu dipertimbangkan. Justru akan lebih menarik jika menggunakan kosakata sehari-hari dalam dialog antar tokoh supaya ada bonding yang pas. Penggunaan kosakata baku ini memberikan efek bola salju di dalam cerita. Sebab penggunaan dialog tokoh Keila malah “ikut-ikutan” baku. Padahal jika kita melihat latar tokoh tersebut dan cara pertemuan dengan tokoh Kalif ini akan lebih nikmat jika penulis menggunakan bahasa daerah khususnya Melayu Banda. Selain menambah suasana Banda Neira, hal itu juga menjadi nilai tambah dan tentunya tidak menyalahi aturan penulisan karya. Seperti cerpen cerpen Toni Lesamana, Faisal Oddang dalam buku “Sawerigading Datang dari Laut” dan karya lain yang berani menggunakan bahasa daerah di beberapa bagian dialog dan penuturannya.

Secara keseluruhan cerpen bertema Modern dalam perlombaan GBBSI 2023 ini cukup menarik, karena penulis mampu menyelipkan tema dengan cara yang unik dan tidak biasa. Akan tetapi masih banyak hal-hal yang perlu diperhatikan oleh penulis supaya nyaman dibaca oleh setiap kalangan. Terlepas dari sejauh mana pengembaraan imajinatif penulis, imajinasi bukan hanya sebatas membayangkan saja, tetapi bagaimana mengubah dan mengolah realitasnya ke dalam tulisan. Terima kasih, semoga bermanfaat.