Potret Demokrasi Orde Baru pada Puisi “Aku Tulis Pamplet Ini” W.S. Rendra

10/06/2024

Pasca Merdeka Indonesia telah mengalami berbagai pergantian dalam sistem pemerintahannya, dimulai dari orde lama pada tahun 1959 sampai dengan 1966 yang dipimpin oleh Presdien Soekarno, dan berganti menjadi orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto dimulai dari tahun 1966 hingga 1998. Setelah lengsernya Soeharto sebagai Presiden RI pada tahun 1998, sistem pemerintahan Indonesia berubah menjadi era Reformasi dan masih berlaku hingga saat ini.

Diantara sistem pemerintahan yang pernah berlaku di Indonesia, masa orde baru yang paling banyak disorot. Tak ada habisnya cerita mengenai berbagai peristiwa yang terjadi pada masa itu, dan masih terasa hangat jika dibicarakan kembali pada masa sekarang. Bisa dikatakan banyak yang tidak atau belum mengetahui perihal apa saja yang terjadi di era itu terutama di kalangan Gen-Z. Namun, karya sastra dapat membawa kita untuk menjelajah waktu dan menilik apa dan bagaimana kejadian pada masa itu.

W.S Rendra merupakan seorang penyair dan dramawan yang memulai kiprahnya di dunia seni dan sastra sejak tahuan 1950-an. Rendra terkenal sebagai sastrawan yang dijuluki sebagai “Si Burung Merak”, hal itu didapatkan karena dalam penampilannya membaca puisi di atas panggung penuh dengan pesona serta flamboyan. Karya-karya Rendra banyak ditujukan untuk mengkritisi isu sosial dan Lembaga pemerintahan pada masa orde baru, sebab ia juga seorang aktivis yang sangat berani menyuarakan pendapatnya hingga ia sempat dipenjara dan dilarang untuk mementaskan puisi atau drama selama beberapa waktu.

Salah satu puisinya yang mengkritisi orde baru adalah puisi yang berjudul “Aku Tulis Pamplet ini” yang ditulis pada tahun 1978.

 

AKU TULIS PAMPLET INI

W.S. Rendra, 1978

 

Aku tulis pamplet ini

Karena Lembaga pendapat umum

Ditutupi oleh jaring laba-laba

Orang-orang bebricara dalam kasak-kusuk

Dan ungkapan diri ditekan

Menjadi peng-iya-an

 

Apapun yang terpegang hari ini

Bisa luput besok pagi

Ketidakpastian merajalela

Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki

Menjadi marabahaya

Menjadi isi kebon Binatang

 

Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi

Maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam

Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan

Tidak mengandung perdebatan

Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan

 

Aku tulis pamplet ini

Karena pamplet bukan tabu bagi penyair

Dan aku inginkan merpati pos

Aku ingin memainkan bendera-bendera

 Semaphore di tanganku

Aku ingin membuat isyarat atap kaum Indian

Aku tidak melihat alasan

 

Beberapa bagian larik puisi yang diambil tersebut, Rendra mengambil fokus permasalahan sulitnya untuk menyatakan pendapat secara terang-terangan saat itu. Dalam bait demi bait puisi tersebut rendra mengutarakan keresahannya. Dalam bait pertama rendra mengatakan bahwa Lembaga pendapat umum ditutupi jarring laba-laba, orang-orang bicara dalam kasak kusuk, dan ungkapan diri ditekan menjadi peng-iya-an. Jelas bahwa pada saat itu Masyarakat hanya boleh menerima apa yang diberi dan ditetapkan oleh  pemerintah, tak diperbolehkan adanya bantahan. Dan jika mengalami ketidaksesuaian, rakyat hanya bisa berbicara dan berbagi resah dengan sesamanya, secara diam-diam dan berbisik, jika terdengar maka akan dianggap sebagai pemberontak.

Sedang pada bait kedua, Rendra menulis apa yang terpegang hari ini bisa luput esok pagi, ketidakpastian merajalela, di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki, menjadi marabahaya. Pada masa itu segala tindakan yang dilakukan ada aturannya termasuk gaya rambut tak boleh gondrong, tak boleh sembarangan hingga rezim itu membentuk pasukan Petrus (Penembak Misterius) yang siap membunuh siapa saja yang dianggap sebagai pelaku kiriminal dan membuang mayatnya begitu saja hingga menjadi tontonan Masyarakat..  Hal tersebut berlanjut pada banyaknya pelanggaran HAM seperti penculikan, penghilangan paksa, penyiksaan, bahkan pembunuhan yang terjadi karena adanya keberanian dalam menyuarakan pendapat dan menentang kebijakan yang dirasa tidak sesuai.

Pada bait ketiga, Rendra menuliskan  tentang media pers yang juga saat itu dikontrol dan berusaha untuk selalu dikuasai oleh pemerintah sebagai alat kekuasaannya. Mereka khawatir jikalau media pers dapat menjadi ancaman bagi kekuasannya apabila tidak dapat dikuasai dengan baik. Media pers yang telah dikuasai akan selalu memperlihatkan berita-berita yang telah disusun secara sistematis oleh rezim tersebut, tak  ada berita kritik atau pertanyaan atas kinerja pemerintah dam semua berita yang ditampilkan sudah dimonopoli. Dalam menerbitkan surat kabar media pers wajib mengantongi Surat Izin Terbit (SIT) yang dikeluarkan oleh Departemen Penerangan dan Surat Izin Cetak (SIC) yang diberikan oleh Lembaga militer KOMKATIB.

 Pada tahun 1974 terjadi gelombang  pembredelan yang tinggi terhadap media pers dengan dalih keamanan, 12 media pers yang dilarang terbit sampai batas waktu yang tidak ditentukan yaitu Indonesia Raya, Harian Kami, Mahasiswa Indonesia, Nusantara Abadi, The Jakarta Times, Mingguang Senang, Pemuda Indonesia, Ekspres, Pedoman, Suluh Berita, dan Indonesia Pos. Pembredelan tersebut membuat media pers seakan-akan tunduk serta tiarap terhadap aturan-aturan rezim.

Dan bait terakhir Rendra menempatkan dirinya sebagai seorang penyair yang ingin menyuarakan pendapatnya melalui tulisan-tulisan dan mennyampaikan pada dunia melalui selebaran pamplet, karena tulisan dan kata-katalah yang dapat dijadikan senjata bagi seorang penyair atau para sastrawan. Rendra juga menginginkan setiap hal dapat dijadikan media penyampai kritik tak terbatas media bahkan dari bendera dan asap yang panas itu. 

Suatu hal yang patut kita syukuri di era reformasi saat ini  memiliki atmosfer kebebasan  yang berbeda dengan orde baru, dengan mudah  bisa berdiskusi, mengkritik dan bahkan tidak sedikit oknum yang memaki-maki Presiden dengan gamblang di sosial media tanpa takut dengan kemungkinan “dihilangkan”.

Tentang penulis

Jihan Putri Utami, Mahasiswi aktif program studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya. Instagram @_jeyyyy