Seharusnya di pagi itu akan lebih tenang setelah semalam Jaiz hampir bertengkar dengan Tanjib di pos ronda dalam keadaan mabuk. Jaiz merasa dicurangi dan menuduh Tanjib menyembunyikan kartu-kartu saat bermain gaple. Namun, nyatanya tidak. Ketika sedang mangkal di Pasar Gahyan dan berleha-leha di dalam becak motornya, Jaiz tersentak bangun setelah seorang lelaki mengguncang-guncang tubuhnya.
“Pak, bangun, Pak!”
Jaiz terkesiap dan segera membantu si lelaki menuntun istrinya yang akan melahirkan. Setelah si istri duduk, si lelaki turut duduk di sebelahnya, lantas mengimbau Jaiz untuk segera berangkat.
“Rumah Sakit Kartini, Pak!”
Jaiz menancap gas becak motornya tanpa mengeluarkan sepatah kata. Setelah berjalan beberapa meter, ia menyadari bahwa ia satu-satunya tukang becak motor yang pagi itu sedang mangkal di Pasar Gahyan. Jaiz bingung hendak bersyukur atau kesal. Bersyukur karena mendapat penumpang, dan kesal karena tidur paginya terganggu.
Sampai di rumah sakit, Jaiz membantu si lelaki menuntun istrinya yang mulai melolong. Sesaat kemudian petugas rumah sakit datang sembari mendorong dipan beroda, dan si istri direbahkan di atasnya.
Mereka masuk ke dalam ruangan, kecuali Jaiz. Ia berniat kembali ke becak motornya dan mungkin akan melanjutkan tidurnya yang masih berkabut mimpi. Lagi pula, ia belum dibayar oleh si lelaki. Maka, selain menyambut kantuk yang belum tuntas, ia juga menunggu ongkos yang belum bernas.
Namun, di dalam becak motornya, kantuknya tiba-tiba lenyap. Jaiz hanya duduk sembari menyaksikan orang-orang keluar masuk rumah sakit. Betapa banyak orang sakit dalam pikirnya. Ia membayangkan, jika dalam sehari semua orang di muka bumi sakit secara bersamaan, termasuk dirinya, apakah pekerjaan manusia akan digantikan oleh hewan? Sesaat kemudian lelaki itu datang, menghampiri Jaiz. Lamunannya buyar.
“Maaf, ya, Pak. Saya tadi panik, sampai lupa bayar.”
“Aih, tidak apa, Mas. Saya mengerti, kok.”
Setelah membayar Jaiz, lelaki itu mengeluarkan sebungkus rokok dari saku kemejanya. Lantas menawarkan sebatang pada Jaiz.
“Temenin dulu ngerokok boleh pak? Saya disuruh nunggu di luar sama perawat. Saya orangnya phobia darah. Bener-bener panik saya pak.”
“Anak ke berapa, Mas?” tanya Jaiz nyaris ketika asap rokok keluar dari mulutnya.
“Anak pertama, Pak, Alhamdulillah. Makanya saya panik, “ jawab si lelaki. Asap rokok bergentayang di sekitar bibir.
***
Lelaki itu bercerita pada Jaiz, sebelum ia dan istrinya menikah, ada rentetan kisah yang berdarah-darah. Satu taun setelah mereka menikah, si lelaki harus pergi ke luar kota untuk kepentingan pekerjaan.
Lelaki itu bercerita pada Jaiz, ia bertemu dengan istrinya di sebuah tempat remang-remang yang menjual berbagai hal: bir, arak, vodka, dan perempuan. Tempat itu adalah tempat terbaik untuk meromantisasi kekalahan bagi seorang lelaki sepertinya. Ia datang hampir setiap hari Minggu. Biasanya ia akan memesan sebotol bir jika ingin sedikit lebih santai, dan memesan sebotol arak jika pikirannya sedang kacau. Namun, ia tak pernah sekali pun memesan perempuan. Ia datang ke tempat itu hanya untuk mabuk. Hanya mabuk.
Hingga pada suatu hari telinganya dipenuhi oleh raungan suara atasan kantornya. Ia dianggap tak becus, pemalas, letoy, kerjaannya selalu tidak sesuai target. Setidaknya itulah yang ia dengar. Meski pun ia tahu, bahwa beberapa hal agak dilebih-lebihkan. Hari itu ia datang ke tempat remang-remang sepulang kerja. Namun ia tak ingin hanya sekadar mabuk. Ia ingin memesan perempuan.
***
Lelaki itu berhenti bercerita. Ia menatap wajah Jaiz.
“Bapak mau ngopi?”
“Boleh, Mas.”
Lelaki itu pergi ke warung kopi terdekat. Memesan dua gelas kopi dan dibawa ke tempat Jaiz. Rokok kembali disulut dan cerita kembali berlanjut.
***
Sebelum pergi ke tempat remang-remang itu, si lelaki bertanya pada temannya tentang tata cara memesan perempuan. Si teman sontak terkikik mengejek.
“Duh, Gusti, masa harus diajarin? Enggak sekalian kamu minta ajarin gaya-gaya bercinta?”
Lelaki itu urung bertanya. Ia tidak akan mendapatkan apa pun dari si teman, kecuali ejekan, pikirnya. Maka ia pergi ke tempat itu dengan kepala telanjang. Lagi pula ia sudah agak akrab dengan penjaga tempat itu.
Si penjaga sontak sumringah mengetahui pelanggannya satu ini akan memesan perempuan. Si penjaga segera menawarkan perempuan-perempuan mulai dari yang seharga motor bekas sampai seharga Samsung keluaran lama. Lelaki itu kalut. Bingung. Sesungguhnya ia tak benar-benar memilih. Seperti lelaki pada umumnya, ia tak mungkin memilih harga yang paling tinggi, tidak juga yang paling rendah. Ia memilih perempuan bernama Erika.
***
Jaiz menyemburkan kopi. Si lelaki sontak terbelalak.
“Hati-hati, Pak. Masih panas.”
Jaiz kikuk sambil terkikik.
“Lanjutin, Mas.”
***
Pertama kali melihat Erika, lelaki itu tidak merasa sedang melihat perempuan jalang. Erika tidak memberi kesan keliaran malam. Ia justru memancarkan sejenis cahaya lembut yang memayungi jiwa si lelaki. Si lelaki sontak tertarik untuk mengajak ngobrol terlebih dulu di atas ranjang. Ia menanyakan hal-hal klise yang begitu sering ditanyakan para lelaki, seperti tempat tinggal, tempat sekolahnya dulu, kenal si ini, atau si itu. Erika pun sebaliknya, ia melihat ada sesuatu yang berbeda di diri si lelaki daripada lelaki-lelaki yang pernah datang. Ia merasa nyaman berada di dekat lelaki yang satu ini.
Si lelaki jadi lebih sering mendatangi tempat itu. Jika biasanya seminggu sekali, kini bisa seminggu tujuh kali. Demi Erika.
***
“Lantas bagaimana sampai Erika, eh, Mbak Erika, bisa keluar dari tempat itu?” tanya Jaiz yang mulai tampak tertarik dengan cerita si lelaki.
Si lelaki tersenyum. Ia seperti sedang mengingat sebuah tempat yang penuh bunga, dan serbuk-serbuknya sedang dihisap kupu-kupu dan lebah.
***
“Bawa aku ke pelukanmu semesra-mesranya, sesering-seringnya.”
“Setiap detik?”
“Setiap detik.”
Usai bercinta di tempat itu, Erika dibawa keluar oleh si lelaki. Mengunjungi sudut-sudut kota yang memiliki lanskap puitis.
“Kau mencintaiku?”
“Aku mencintaimu.”
“Kau akan menikahiku?’
“Tentu.”
Setelah itu mereka berciuman untuk yang ke sekian kalinya.
Sebulan setelahnya Erika benar-benar keluar dari tempat itu. Lelaki itu membayar si penjaga tempat remang-remang untuk memiliki Erika seutuhnya. Mereka menikah. Teman-teman kantor si lelaki datang ke pernikahan dan mengucapkan selamat. Atasan si lelaki juga turut datang. Ia tak hanya sekadar mengucapkan selamat, tapi juga meminta maaf atas sikapnya yang sering uring-uringan. Si lelaki terkikik. Ia bahkan merasa si atasan tak perlu minta maaf. Sebab sikap uring-uringannya yang membuat si lelaki bertemu dengan Erika.
Setahun setelah pernikahan, si lelaki dihubungi oleh atasannya. Ia diberi tugas pergi ke luar kota untuk menjalin hubungan dengan sebuah perusahaan. Si lelaki lantas minta izin pada Erika. Erika mengizinkan dan mengantar suaminya sampai stasiun kereta.
Sepulang dari luar kota, Erika mengabarkan bahwa dirinya positif hamil. Si lelaki sontak memeluk Erika. Air matanya menyungai.
***
Jaiz, tukang becak motor itu, merasa cerita sudah selesai. Ia tersenyum. Begitu pun si lelaki. Ada keheningan yang semerbak. Sesaat kemudian Jaiz melihat si lelaki meneteskan air mata. Jaiz mematung, kikuk. Bingung. Matahari perlahan turun. Semburat cahaya jingga menyiprati wajah dua lelaki itu.
Sebelum lelaki itu kembali masuk ke rumah sakit, ia mengatakan sesuatu pada Jaiz yang membuat wajahnya murung.
***
Malam itu Jaiz kembali ke pos ronda. Di sana sudah ada Tanjib dan yang lain. Mereka sedang bermain gaple seperti biasa.
Tanjib menyadari bahwa Jaiz hari ini tampak murung.
“Ada apa? Sepi penumpang lagi?”
Jaiz memberi jeda sebelum menjawab. “Bukan. Kau tahu, tadi Erika dan suaminya menumpang becakku. Hari ini ia melahirkan.”
Sontak Tanjib terkekeh keras sekali. “Aih, kau masih saja memikirkan perempuan itu? Sudahlah, hari ini aku menang taruhan beberapa kali, kutraktir arak, ya?”
Jaiz tetap mematung. Hening.
Sesaat kemudian Jaiz berkata nyaris seperti bergumam sendiri.
“Kau tahu, suaminya tadi cerita padaku, ia sangat mencintai Erika lebih dari apa pun. Saking cintanya, ia pura-pura percaya bahwa anak dalam kandungan Erika adalah anaknya. Lelaki itu sebenarnya mandul.”
Tanjib mematung, seolah tak percaya pada apa yang barusan Jaiz katakan.
“Berarti itu anakmu?”
Tidak ada jawaban. Suara jangkrik bersahut-sahutan. Lebih riuh dari biasanya.
Satria Al-Fauzi Ramadhan Mahasiswa Sastra Indonesia di Universitas Negeri Surabaya. Bergiat di komunitas Rabo Sore. Akun Instagram: @_mekorama