Telaga dan Kegelapan

12/06/2025

 

SENJA menyusup melalui jendela ruang kerja, menyapukan warna jingga ke layar komputer yang kosong. Damar menatap kursor yang berkedip-kedip, seperti irama monoton yang mengejek kebuntuan pikirannya. Di sampingnya, secangkir kopi yang sudah dingin mengingatkan bahwa ia telah duduk di sana selama berjam-jam. Dulu, menulis seperti bernafas, begitu mudah, begitu ringan menuangkan pikiran. Tapi kini, setiap kata terasa seperti batu yang harus ia seret naik ke puncak gunung.

“Mereka menemukan telaga itu ketika harapannya nyaris habis.” 

Ia mengetik, lalu menghapusnya. Mengetik lagi kalimat hampir serupa. Menghapus lagi. Sebuah berita lama tentang tiga mahasiswa yang tersesat di gunung, yang pernah ia baca dua tahun lalu, dan terus membayang di benaknya. Ada sesuatu dalam tragedi itu yang berbisik padanya, memintanya untuk menggali lebih dalam. Sesuatu yang harus ia tulis dalam bentuk cerita. Namun, semakin ia mencoba menuliskannya, bayangan itu selalu menjauh. 

“Masih belum ada kemajuan?”

Suara Dian membuatnya tersentak. Ia berdiri di ambang pintu, sosoknya membayang karena cahaya dari belakangnya. Suara itu selalu membawa kehangatan di masa lewat. Sekarang, setiap ucapannya terasa seperti runcing es yang menusuk. Di masa awal pernikahannya, perempuan itu menjadi pendamping yang penuh dukungan, mengagumi setiap kata yang ditulisnya dengan mata penuh harap dan semangat. 

Namun, seiring berjalannya waktu, mata itu berubah. Sejak Dian mulai bekerja sebagai editor di penerbit besar, malam-malam mereka yang dulu diisi percakapan hangat kini tergantikan oleh keheningan atau kritikan pedas jika kebetulan berhadapan dengan karya suaminya. Damar tahu beban kerja Dian berat, tetapi ia tidak menyangka bahwa beban itu akan menjadikan istrinya begitu ganas. Ia menjadi editor yang kritis bagi dirinya, penuh ejekan dan tanpa ampun, seolah dunia penulisan adalah medan perang di mana kelemahan tidak diizinkan.

“Sedang proses,” jawabnya pelan, berusaha tersenyum.

Dian melangkah masuk, membawa setumpuk kertas, naskah-naskah pengarang lain yang harus ia edit malam ini. Lalu ia letakkan di meja dekat meja kerja Damar. Matanya yang lelah menatap layar komputer suaminya. “Masih cerita yang sama?”

Damar mengangguk. Ia ingat bagaimana di masa lewat Dian selalu menjadi pembaca pertamanya. Mereka akan duduk berdua di sofa tua mereka, Dian menyandarkan kepala di bahunya sambil membaca draft ceritanya. Kadang ia tertawa, kadang menangis, tapi selalu ada kehangatan dalam setiap komentarnya.

“Kau ingat cerpen pertamaku yang dimuat di koran?” Damar bertanya, mencoba membangun jembatan ke masa lalu itu.

“Yang tentang nelayan tua itu? Ya, aku ingat. Kau menulis dengan cukup berbeda waktu itu.”

Ada nada dalam suara Dian yang membuat Damar mengernyit. Berbeda bagaimana? Lebih baik atau lebih buruk?

“Maksudku,” Dian melanjutkan, seolah membaca pikiran suaminya, “kau menulis dengan bebas waktu itu. Tanpa beban. Tanpa...” ia terdiam sejenak, “...tanpa mencoba terlalu keras. Hal itu terlihat dari cerpen yang kau hasilkan.”

Damar merasakan kata-kata itu menggores hatinya. Ia teringat saat mengirim naskah novel pertamanya ke penerbit tempat Dian bekerja. Sebuah penerbitan besar untuk para pengarang besar, bukan medioker seperti dirinya. Ia tak lupa bagaimana dirinya menghabiskan malam-malam tanpa tidur untuk menyelesaikan naskah itu, berharap bisa membuktikan pada dunia—pada Dian—bahwa ia lebih dari “pengarang sekadar”.

Naskah itu kembali dalam seminggu. Tanpa catatan. Tanpa komentar. Hanya surat penolakan formal yang dingin.

“Aku tahu kau yang menangani naskahku waktu itu,” kata Damar pelan. Ini adalah pembicaraan yang telah lama mereka hindari.

Dian tidak langsung menjawab. Ia berjalan ke jendela, menatap pohon mangga di halaman yang daunnya bergerak-gerak ditiup angin sore. 

“Ya,” akhirnya ia berkata. “Aku yang menanganinya.”

“Dan kau tidak memberiku kesempatan?”

“Justru karena aku istrimu, aku tidak bisa memberikan perlakuan khusus. Aku tak ingin menjerumuskanmu.” Dian berbalik menghadapnya. “Lagi pula kami sebagai penerbit ternama tidak punya waktu untuk menangani cerita semacam itu.”

Damar merasakan amarah lama yang familiar mulai bangkit, tapi ia menahannya. “Lalu kenapa kau tidak membantuku memperbaikinya? Bukankah itu tugasmu sebagai editor? Sebagai istri?”

“Sebagai editor, aku harus profesional. Dan sebagai istri...” Dian terdiam sejenak, matanya menerawang ke masa lalu, “...mungkin aku tak ingin melihatmu hancur perlahan-lahan.”

Kata-kata itu menggantung di udara seperti kabut beracun. Damar menatap layar komputernya yang masih kosong. Di sana, kursor masih berkedip-kedip, menunggu kata-kata yang tak kunjung datang.

“Aku melihatmu setiap malam,” Dian melanjutkan, suaranya lebih lembut sekarang. “Duduk di sini, mencoba menulis sesuatu yang sempurna. Menghapus. Menulis lagi. Seperti orang yang terjebak.”

Damar tersenyum pahit. “Bukankah itu yang kau inginkan? Kesempurnaan? Kesempurnaanku sebagai pengarang sekaligus sebagai suami.”

“Yang kuinginkan adalah suamiku kembali,” katanya, ucapannya seperti dieja. “Orang yang dulu menulis dengan jiwa, bukan dengan pretensi atau ketakutan.”

Sesekali Damar merasa ada sesuatu di sudut matanya, bayangan kecil yang melintas, seperti lambaian dari balik jendela. Namun, setiap kali ia mengarahkan pandang ke jendela di atas komputer, hanya ada pohon mangga di halaman yang terlihat, daunnya bergoyang pelan seolah mengejek. Ia mencoba menghapus pikiran itu, namun perasaan bahwa ia diawasi tetap bertahan, seperti suara halus yang berbisik di belakang tengkuknya. Kini ia merasa bayangan gelap melintas di dinding belakangnya. Ketika ia menoleh, tidak ada apa-apa di sana. Hanya wallpaper kusam yang mulai mengelupas.

“Kau lihat itu?” tanyanya pada Dian yang semula berdiri, kini mengambil kursi duduk di sampingnya.

“Lihat apa?”

Damar menggeleng. Mungkin hanya fatamorgana dari matanya yang lelah. Ia kembali menatap layar, dan kata-kata mulai mengalir:

“Mereka menemukan telaga itu ketika harapannya nyaris habis. Laila yang pertama melihatnya. Sebuah cermin hitam di tengah hutan, memantulkan langit senja yang merah. Andi dan Reza mengikutinya di belakang, tubuh mereka gemetar oleh dingin dan ketakutan.”

Dian membaca dari balik bahunya. “Ini... berbeda,” katanya. Tidak ada kata-kata kritik yang meluncur dari mulutnya. Tak ada petuah seperti sebelum-sebelumnya: “Tulisan yang baik itu seperti pisau, tajam dan menusuk!”

Damar mengangguk, jarinya terus menari di atas keyboard. Ia bisa melihat mereka dengan jelas sekarang: tiga mahasiswa yang tersesat, masing-masing membawa beban ke puncak gunung. Laila dengan ambisinya yang membakar, Andi dengan rasa bersalahnya pada ibunya yang selalu menggerogoti, dan Reza dengan kamera kreditannya yang tak mampu dilunasi. 

“Telaga ini menyimpan sesuatu,” Laila berkata, suaranya bergema di kepala Damar. “Seperti panggilan. Ya, seperti ada yang memanggilku.”

Di sampingnya, Dian masih mengamati. Damar bisa merasakan nafasnya yang hangat di tengkuknya. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang tidak biasa. 

“Teruskan,” kata Dian, suaranya serak. “Aku ingin tahu apa yang ada di dalam telaga itu.”

Damar mengetik lagi. Dalam ceritanya, Laila mulai melangkah ke air. Andi berteriak memanggil agar Laila menghentikan langkahnya, tapi suaranya tenggelam oleh desir angin yang mulai gemuruh. Reza mengangkat kameranya, dan dalam kilatan blitz yang singkat, ia melihat sesuatu di belakang Andi, sebuah sosok yang familiar.

“Seperti ini?” Damar bertanya, tangannya gemetar di atas keyboard.

“Ya,” bisik Dian. “Persis, seperti ini.”

Damar merasakan hawa dingin merayapi tengkuk sampai kepalanya. Ia menoleh, dan untuk sesaat, ia melihat sesuatu dalam mata istrinya, sesuatu yang gelap dan dalam, seperti air telaga dalam ceritanya.

“Dian?”

Tapi perempuan itu hanya tersenyum. Senyum yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Senyum yang mengingatkannya pada Laila, saat perempuan itu berdiri di tepi danau, mendengarkan panggilan dari kegelapan.

“Tulislah tentang akhir yang baik,” kata Dian, suaranya sekarang seperti gabungan banyak suara. “Cerita ini perlu diakhiri.”

Damar merasakan jari-jarinya bergerak sendiri di atas keyboard, mengetik kata-kata yang tidak direncanakan. Di layar, Laila masuk semakin dalam ke air, sementara Andi dan Reza membeku di tempat, tidak mampu bergerak.

Ruang kerjanya mulai terasa berbeda. Dinding-dindingnya seolah menekan keberadaannya, bergoyang seperti permukaan air. Dari sudut matanya, ia melihat sesuatu di wallpaper dinding, membentuk sosok-sosok yang ia kenal: karakter-karakter dari cerita-ceritanya yang gagal, mimpi-mimpinya yang tak pernah terwujud.

“Dian,” ia mencoba memanggil lagi, tapi suaranya tertelan oleh keheningan telaga.

Istrinya masih di sampingnya, tapi sosoknya mulai kabur, seperti refleksi di air yang beriak. “Kau tahu, pengarang sejati tidak pernah benar-benar menulis cerita orang lain. Mereka menulis diri mereka sendiri, berkali-kali, sampai akhirnya mereka tidak mengenali siapa yang mereka tulis.” kata Dian, suaranya sekarang seperti datang dari kejauhan. “Dan kau selalu ingin menulis cerita yang sempurna, tapi kau tidak pernah sadar, cerita yang sempurna selalu membutuhkan pengorbanan.”

Damar mencoba berdiri dan berbalik, tapi tubuhnya terasa berat. Di layar komputer, kata-kata terus bermunculan, seolah diketik oleh tangan tak kasat mata:

“Air telaga naik hingga ke dada Laila. Ia tersenyum pada kegelapan yang menyambutnya. Di belakangnya, Andi dan Reza hanya bisa menyaksikan, terpaku oleh kondisi yang tak bisa mereka pahami. Mereka tidak tahu bahwa mereka telah menjadi bagian dari cerita ini sejak awal—cerita yang harus berakhir dengan cara tertentu.”

“Apa yang terjadi?” Damar berbisik, merasakan kesadarannya mulai goyah.

“Kau menulis cerita yang sempurna,” jawab Dian, suaranya kini seperti gemericik air. “Dan sekarang, cerita itu menulismu.”

Ruangan itu perlahan tenggelam dalam kegelapan telaga. Damar masih bisa melihat layar komputernya yang bersinar, satu-satunya cahaya dalam kegelapan. Kata-kata terakhir muncul di layar:

“Mereka tidak pernah meninggalkan telaga itu. Tidak ada yang pernah benar-benar meninggalkan telaga itu.”

Ketika Damar menoleh ke sampingnya, ia melihat Dian tersenyum, senyum milik Laila. Dan ia akhirnya mengerti: ia telah menulis akhir yang sempurna. Akhir yang selama ini ditunggu oleh telaga itu. Ia ingin memegang tangan Dian, tetapi tangannya terlalu berat, dan ia menyadari Dian tak ada di sampingnya. Mungkin ia hanya kelelahan. Mungkin semua ini hanya efek dari matanya yang kurang tidur. Ketika ia melihat kata-kata di layar, ia merasa seolah dunia lain telah menyatu dengan miliknya. “Apakah aku sedang bermimpi?” pikirnya, namun kegelapan itu tidak memberikan jawaban.

Di luar, senja telah berganti malam. Ruang kerja itu kini kosong, hanya ada komputer yang masih menyala, layarnya memantulkan kata-kata terakhir dari sebuah cerita yang akhirnya selesai.

 

Kim Al Ghozali AM lahir di Probolinggo dan memulai proses kreatifnya di Bali dalam pergaulan sastra di Jatijagat Kampung Puisi. Kini ia menetap di Surabaya. Buku terbarunya: Setelah Deru Paku dan Palu (JBS, 2025).