Dari Catatan Harian Nadja Halilbegovich 1 Juni 1992, dll.

05/10/2021

 

DARI CATATAN HARIAN

NADJA HALILBEGOVICH

1 Juni 1992

 

Ia mengepak biskuit, kartu mainan,

Boneka beruang, juga Sarajevo. Sofa,

Gitar tua, mantel bludru, dan lukisan

Di tembok jadi orang asing di ruang

Tamu sendiri. Daun pintu tumbuh

Jadi akar kepergian tanpa riwayat

Dan bekal pemberangkatan. Segalanya

Bernama hening di sini. Tak ada palcici

Atau keletak ranting yang diberati salju

Dari udara. Keriangan hanya tinggal

Dalam sesak dada. Kembang-kembang

Maut ibarat burung di angkasa, ia paham

Membaca pergantian musim yang ekstrim.

 

Mencium bau kematian, adalah menghirup

Bau kekangenan luar biasa. Dan tanganmu

Yang akrab dengan salju tak sampai beku

Mencatat keduanya, meski nasib usiamu

Berdiri di gawir rahasia. Dirimu meniup

Terompet di bawah tanah. Di terowongan

Rahasia. Dan aku mendengarnya dengan

Sepasang telinga yang berdarah.

 

2010

 

 

DARI CATATAN HARIAN

NADJA HALILBEGOVICH

4 Juli 1992

 

Para pemetik ceri, bangun terlalu pagi

Dari kaca jendela salju terlihat numpuk

Di daunnya. Dan di tanah salju cukup 

Menenggelamkan kedua mata kakinya

 

Ini hari pertama kebun-kebun sepetak

Melambai ke dunia. Hari yang kesekian

Di mana mimpi kekal di bongkarpasang

Dengan boot dan sarung tangan usang

 

Usia masih pagi ketika salju mengekalkan

Jejak para pemetik ceri itu dengan getah

Yang mengalir di sepanjang risalah. Lalu

Angin meniupi daunnya dari ciprat darah 

 

Waktu sedemikian tergesa medidihkan

Amarah paling senyap dalam sesak dada

Dan air mata diwarisi seseorang di jendela

Dengan sisa uap yang menggaris di kaca

 

2010

 

 

DARI CATATAN HARIAN

NADJA HALILBEGOVICH

10 Oktober 1992

 

Dirimu tak punya jawaban sepatahpun

Selain memotong telinga, nyungkil mata

Dan melempar tubuh ke dasar telaga

Dengan harapan segalanya akan tumbuh

Jadi peluru atau bom waktu. Tapi maut

Yang tumbuh di tembok kota, di pohon

Ceri, di ranjang Ljubica Ivezic yang kumal,

Menguliti nyanyianmu ke langit kekal.

 

Dirimu tak punya jawaban sepatahpun

Selain puisi yang kau peram cukup jadi

Batu saja.

 

2010

 

 

DARI CATATAN HARIAN

NADJA HALILBEGOVICH

17 April 1993

 

“Mama, Aku Tidak Ingin Pergi

ke Ruang Bawah Tanah,” dirimu

Bercerita dengan sederhana

Ihwal nasibmu sendiri dalam

Puisi. Biarlah takdir kita begini

Adanya. Memandang jalanan

Yang seharian sepi. Menunjuk

Tembok kota dengan lubang

Peluru di mana-mana. Meraba

Dinding rumah yang jendelanya

Pecah semua.

 

Mama, aku tidak ingin pergi

Atau kembali. Sebelum kutulis

Puisi bagi penembak misterius

Di atas gedung, yang arahnya

Sasar kutunjukkan kepadamu.

Tetapi di sana kematian kita

Telah dibidiknya sekian lama.

 

Mama, aku percaya sepenuhnya

Bahwa puisi tak menjadikan kami

Yatim-piatu. Para pemetik ceri itu,

Atau yang mendiami ranjang Ljubica

Ivezic yang kekal, tengah menulis

Puisi dari balik-balik salju tebal

 

2010

 

 

DARI CATATAN HARIAN

NADJA HALILBEGOVICH

4 Oktober 1993

 

Kau menanam sepasang kaki mudamu

Ke dalam puisi yang ditulis seseorang

Di tembok kota dini hari tadi, menggali

Segara dengan darah segar Ibumu, Irma.

Dan langit seperti membisikkan sesuatu

Kepadaku. Mungkin seperti dongeng itu

Yang ingin kubacakan untukmu saat ini.

 

2010

 

 

DARI CATATAN HARIAN

NADJA HALILBEGOVICH

19 November 1994 

 

Berpasang-pasang mata di sebrang menara

Jadi hantu dalam tidur Nermin. Seseorang

Yang dadanya berkarat dari arah kegelapan

Melebatlegamkan kulit dan bulu-bulunya

Seperti seekor Nasar dari sebuah padang

Yang gersang.

 

Nermin tak mimpi jadi Beruang atau Srigala

Ketika salju lebat mematangkan taringnya

Dengan darah hangat. Ia cukup sederhana

Membangun rumah batinnya dari kebun

Ceri muda.

 

Langit terus menanggalkan ubannya, Nermin.

Kletak ranting yang jatuh di punggung salju

Jadi tabiat waktu yang menderu bagi mimpi

Tentang kepulangan dan kepergian seseorang.

Dan ketakutan yang tak pernah reda di sini

Seperti napas sunyi di sepanjang terowongan

Yang bergema untuk dirinya sendiri.

 

2010

 

 

DARI CATATAN HARIAN

NADJA HALILBEGOVICH

26 Mei 1995 

 

Maut pun mengeraskan biji-bijinya

Lewat segala musim yang bebal

Dari induk pohon yang ranum akar

Serta daunnya. Tapi siapa dia, petani

Yang memanen maut dari kebun-kebun

Tuzla? Kanal-kanal memeras tubuhnya

Melilit sebentang sawah dengan irigasi

Darah. Ikan-ikan memungut ransum doa

Ketika duri dalam dagingnya luka parah.

 

Yang menanam rindu, tak hanya sepasang

Kaki muda yang tenggelam kedua mata

Kakinya ke dalam salju, tapi selongsong

Bedil dengan peluru air mata yang mekar

Di atas menara. Siapa yang menabuh sepi

Di tanah kubur yang digali maut sendiri?

Kau tak bisa menerka apa pun di sini, selain

Menyobek masa lalu yang dicabik kesedihan

Dan kesakitan dengan hari-hari berikutnya

Yang sama-sama menyakitkan.

 

2010

 

 

Bode Riswandi lahir di Tasikmalaya, 6 November 1983. Mengajar di FKIP Ba-hasa dan Sastra Indonesia Universitas Si-liwangi Tasikmalaya (Unsil). Bergiat di Rumah Budaya Beranda 57, dan Teater 28. Menulis puisi, cerpen, esai, dan nas-kah drama. Beberapa karyanya dipublika-sikan di beberapa media massa di anta-ranya Pikiran Rakyat, Majalah Syir’ah, S. K. Priangan, Tabloid MQ, Puitika, Lampung Post, Bali Post, Koran Minggu, Majalah Sastra Aksara, Jurnal Bogor, Tribun Pontianak, Majalah Sastra Sabana, Jurnal Amper, Jurnal Kebudayaan AKAL dll. Selain itu beberapa karyanya juga terhimpun dalam beberapa antologi: Biograpi Pengusung Waktu (RMP, 2001), Poligami (SST, 2003), Kontemplasi Tiga Wajah (Pualam, 2003), Dian Sastro For President #2 (Akademi Kebudayaan Yogyakarta, 2003), Jurnal Puisi (Yayasan Puisi, Jakarta 2003), End of Trilogy (Insist Press, Yogyakarta 2005), Temu Penyair Jabar-Bali (2005), Sang Kecoak (InsistPress, 2006), Lanskap Kota Tua (WIB, 2008), Tsunami, Bumi Nangroe Aceh (Nuansa, 2008), Rumah Lebah Ruang Puisi (Yogyakarta, 2009), Pedas Lada Pasir Kuarsa antologi Temu Sastrawan Indonesia II (2009), Antologi Pe-nyair Muda Indonesia-Malaysia (2009), Mendaki Kantung Matamu (Ultimus, 2010), Istri Tanpa Clurit (Ultimus 2012), Dada Tuhan (Komunitas Malaikat, 2013), Akulah Musi, Air Akar (Gramedia, 2012), dll.